Rabu, 23 Oktober 2019

[Kata Adalah Kita]

Syair-syair yang randau
bagai peluk hangat
beberapa bunga di pangkal tanah
seperti sebiji doa yang memekar
kau semai dengan senyum tanpa tenun
hanyalah sebuah ketulusan sebuah air mata tanpa alasan

Tatkala pudar beberapa kiasan—tertinggal sebait puisi yang telanjang
seperti teduh bulan di langit merah tanpa penyesalan
semanis ucapanmu sepeluk dekap pertemuan

Kata-kata tak pernah menjadi siapa pun
hanyalah abjad-abjad penuh mantra
sebuah angan dan ingin
dalam reda dan dera yang redam

Kala kita mengucap hagia
sesederhana tangisan
mengalir hingga sembab
atau menerus dan memakna
menjadi hujan—atau badai sekalipun

Seperti katamu
tiada rupa paling purna
hanyalah karsa penelisik jawab
tiada perih paling lirih
hanyalah sepi dalam riuh diam-diam

Kita tak pernah pandai berkata-kata
hanyalah menjadi-jadi sebuah doa dalam mimpi
ketidakpastian yang terus diutarakan

Dalam ungkapan-ungkapan
bahkan rahasia segala umpatan
perihal dirimu dan diriku dalam bungkam bibir yang beku

Sediam ciumanmu
pada kata-kata
yang mati sebagai kita
dan kita menjelma angan-angan
suci dalam keterbatasan

Sedu sedih
tenang tentram
lirih dan lara
kata-kata tak lagi ada
ia menjelma kita

Jakarta Di Ujung Pena
— Rizky Adriansyah

1 komentar: