[Pada ketidakmungkinan]
Aku mecintaimu bagai batu mengalir di hilir
arus menghanyutkan; tak gentar perjuangan
lantunan syair dari ikan kecil temani kesepian
dahan pohon yang gugur disepanjang aliran
Aku mencintaimu bagai teduhnya hutan
seperti rekah jamur pada kelembapan
pepohonan rindang seperti tumpuan kehidupan
atau sang raja hutan mati akibat disembah rakyatnya
Aku mencintaimu bagai luas daratan
aspal nan bersaing ketinggian pada pertokoan
udara bersitegang akibat jadi rebutan hirupan
kaum pinggiran mati tak bisa menghidupi mimpi
Isi kepala seketika meledak sebuah tanya
segala ketidakmungkinan penuhi kehidupan
dianggap mati berani! anak tiri disudahi
apa perbedaan justru dianggap kebutuhan?
Entah sampai kapan keajaiban!?
Subur dibiar gugur melebur
sebaliknya, mati junjung sampai nanti.
O maha Penghidupan,
apa jalan dan kehendak-Mu selanjutnya?
Lalu cinta terlanjur kandas usia
apa lebur lagi si nestapa dengan derita?
pertanyaan akan sama untukmu, Nona.
— mesinketik
📷: Google
Rabu, 23 Oktober 2019
Jarak bukan sekadar hitungan angka.
Sebab 564 kilometer dapat menjadi begitu
jauh, jika seseorang di sana, tak pernah
memberi respons positif setiap kali kita
menawarkannya sebuah pertemuan.
Namun 564 kilometer bisa menjadi
begitu dekat, jika seseorang di sana,
telah memberi semacam sinyal,
bahwa ia teramat menantikan pertemuan.
Jarak bukan sekadar hitungan angka,
ia pun melibatkan hitungan rasa.
—Ars
#Arstories
Sebab 564 kilometer dapat menjadi begitu
jauh, jika seseorang di sana, tak pernah
memberi respons positif setiap kali kita
menawarkannya sebuah pertemuan.
Namun 564 kilometer bisa menjadi
begitu dekat, jika seseorang di sana,
telah memberi semacam sinyal,
bahwa ia teramat menantikan pertemuan.
Jarak bukan sekadar hitungan angka,
ia pun melibatkan hitungan rasa.
—Ars
#Arstories
[Lukisan Dirimu di Langit]
Aku ingat betul tiap inchi dari raut wajahmu, bagaimana kerut di pipimu itu terbentuk di kala kau tersenyum, warna kelam di bawah kelopak matamu itu, lengkungan bulu mata yang indah, dan setiap rasa yang tersirat di baliknya.
Aku juga masih ingat bagaimana caramu berfikir, caramu berintonasi, caramu berjalan, dan bagaimana caramu mencintaiku. Semuanya terekam jelas layaknya film dokumenter sejarah yang meninggalkan rasa perih. Aku ingat bagaimana diri ini tak pernah menyerah untuk memperjuangkanmu.
Tapi mau bagaimana lagi? Realita tak sesuai ekspektasi. Kita pernah bersama dan bersanding begitu kuat, namun sekarang semuanya rasanya mendung. Langit rasanya lupa untuk menambahkan warna kuning dan birunya. Semuanya terasa kelabu, sendu, dan aku yang rindu.
Dulu kita meratapi langit dan mentari berduaan. Mencoba menunjuk-nunjuk kesana kemari perihal bentuk apa yang terlintas ketika melihatnya. Namun sekarang aku tak bisa berimajinasi lagi, karena tiap kali aku melihat langit, ia melukiskan dirimu di sana.
Entah kamu dimana, dengan siapa, baik-baik saja atau tidak, bahagia atau engga, aku sering menitipkan doaku pada langit. Karena antara kau dan aku berada di bawah langit yang sama, cuman kali ini perasaan kita yang tak lagi sama.
ー Detra
#detrathoughts
Aku ingat betul tiap inchi dari raut wajahmu, bagaimana kerut di pipimu itu terbentuk di kala kau tersenyum, warna kelam di bawah kelopak matamu itu, lengkungan bulu mata yang indah, dan setiap rasa yang tersirat di baliknya.
Aku juga masih ingat bagaimana caramu berfikir, caramu berintonasi, caramu berjalan, dan bagaimana caramu mencintaiku. Semuanya terekam jelas layaknya film dokumenter sejarah yang meninggalkan rasa perih. Aku ingat bagaimana diri ini tak pernah menyerah untuk memperjuangkanmu.
Tapi mau bagaimana lagi? Realita tak sesuai ekspektasi. Kita pernah bersama dan bersanding begitu kuat, namun sekarang semuanya rasanya mendung. Langit rasanya lupa untuk menambahkan warna kuning dan birunya. Semuanya terasa kelabu, sendu, dan aku yang rindu.
Dulu kita meratapi langit dan mentari berduaan. Mencoba menunjuk-nunjuk kesana kemari perihal bentuk apa yang terlintas ketika melihatnya. Namun sekarang aku tak bisa berimajinasi lagi, karena tiap kali aku melihat langit, ia melukiskan dirimu di sana.
Entah kamu dimana, dengan siapa, baik-baik saja atau tidak, bahagia atau engga, aku sering menitipkan doaku pada langit. Karena antara kau dan aku berada di bawah langit yang sama, cuman kali ini perasaan kita yang tak lagi sama.
ー Detra
#detrathoughts
Dan aku masih mengingatnya, kawan
Saat laskar rakyat berpulang ke rumahnya
Mereka dulu duduk di atapnya berselesa
Pekik suara dan panji-panji sakral dikobarkan
Memohon sekali lagi untuk janji yang tertunda
Selepas itu pun tiada yang benar-benar tahu
Kapan keadilan yang katanya murah harganya
Bisa dimiliki mereka yang beratapkan langit merah
Dan para muda bestari yang tak henti-hentinya
Memurnikan niat demi masa depan bangsa
Agen-agen perubahan yang teramat tangguh
Wajah mereka terlukis pada bendera-bendera
Yang tengah membentangkan sayap dwiwarnanya
Di sekolah-sekolah, kantor-kantor, dan trotoar jalan
Kini alarm demokrasi berbunyi, mereka pun menanggapi
Satu per satu mereka maju, langit pun ikut jadi saksi
Tujuh tuntutan yang dilaungkan pada nara-nara tuli
Tukang sampah, buruh tani, juru berita, ikut mengamini
Aku bergetar melihat bendera itu lagi, kawan
Seorang pemuda membentangkannya kuat-kuat
Di depan kisi-kisi pagar Taman Kanak-Kanak itu
Ia dan seribu pemuda lainnya hendak berpulang
Meski mata sudah sayu dan kaki nyaris roboh
Begitu meriah sambutannya, para penjaga pun
Tak segan-segan meludahi gegap gempitanya
Dan bendera itu dengan beratus liter tembakan air
Seolah melupakan kobaran api di tanah seberang
Kawan, kita sudah berjuang sehormat-hormatnya
Dan tak diterima di rumah, bagai gelandangan
Lalu, di mana lagi kita akan berpulang?
— Lintang Punarbawa
#Nozdorevelation
Saat laskar rakyat berpulang ke rumahnya
Mereka dulu duduk di atapnya berselesa
Pekik suara dan panji-panji sakral dikobarkan
Memohon sekali lagi untuk janji yang tertunda
Selepas itu pun tiada yang benar-benar tahu
Kapan keadilan yang katanya murah harganya
Bisa dimiliki mereka yang beratapkan langit merah
Dan para muda bestari yang tak henti-hentinya
Memurnikan niat demi masa depan bangsa
Agen-agen perubahan yang teramat tangguh
Wajah mereka terlukis pada bendera-bendera
Yang tengah membentangkan sayap dwiwarnanya
Di sekolah-sekolah, kantor-kantor, dan trotoar jalan
Kini alarm demokrasi berbunyi, mereka pun menanggapi
Satu per satu mereka maju, langit pun ikut jadi saksi
Tujuh tuntutan yang dilaungkan pada nara-nara tuli
Tukang sampah, buruh tani, juru berita, ikut mengamini
Aku bergetar melihat bendera itu lagi, kawan
Seorang pemuda membentangkannya kuat-kuat
Di depan kisi-kisi pagar Taman Kanak-Kanak itu
Ia dan seribu pemuda lainnya hendak berpulang
Meski mata sudah sayu dan kaki nyaris roboh
Begitu meriah sambutannya, para penjaga pun
Tak segan-segan meludahi gegap gempitanya
Dan bendera itu dengan beratus liter tembakan air
Seolah melupakan kobaran api di tanah seberang
Kawan, kita sudah berjuang sehormat-hormatnya
Dan tak diterima di rumah, bagai gelandangan
Lalu, di mana lagi kita akan berpulang?
— Lintang Punarbawa
#Nozdorevelation
[Sebuah Usaha Melupa]
Lucu bila diingat, dulu kita bisa dekat nyaris terikat
Saat ini, jangankan erat, saling menautkan mata saja sudah tak mampu kita lakukan sebab takut sekarat
Nadi dan kita dulu seperti tak ada bedanya
Hari ini jauhnya melebihi ratusan purnama yang tertutupi awan gelap nan gulita
Jauh, jauh sekali
Sesekali hanya mampu aku lihat kabarmu pada laman media sosialmu
Lantas kabarku? Tidak pernah aku tahu apakah kini menjadi yang paling kamu tunggu atau justru tidak lagi terlintas di hari-harimu
Dua manusia yang sempat saling bertukar rasa, pada akhirnya kembali seperti saat pertama belum berjumpa
Tidak saling menyapa, tidak ada lagi tukar cerita
Dulu ikrarnya akan tetap berteman seperti sedia kala
Namun hati siapa yang bisa menduga
Belum sembuh, jika harus dipaksakan untuk saling bercengkerama, bukankah hanya menjadikannya kambuh?
Maka atas nama ingin pulih, dijalaninya terseok maupun tertatih
Sebab sekali saja menyapa, runtuhlah dunia
Berlebihan kiranya kau mengira, namun yang dirasakan memang begitu adanya
— pemintalkata
Lucu bila diingat, dulu kita bisa dekat nyaris terikat
Saat ini, jangankan erat, saling menautkan mata saja sudah tak mampu kita lakukan sebab takut sekarat
Nadi dan kita dulu seperti tak ada bedanya
Hari ini jauhnya melebihi ratusan purnama yang tertutupi awan gelap nan gulita
Jauh, jauh sekali
Sesekali hanya mampu aku lihat kabarmu pada laman media sosialmu
Lantas kabarku? Tidak pernah aku tahu apakah kini menjadi yang paling kamu tunggu atau justru tidak lagi terlintas di hari-harimu
Dua manusia yang sempat saling bertukar rasa, pada akhirnya kembali seperti saat pertama belum berjumpa
Tidak saling menyapa, tidak ada lagi tukar cerita
Dulu ikrarnya akan tetap berteman seperti sedia kala
Namun hati siapa yang bisa menduga
Belum sembuh, jika harus dipaksakan untuk saling bercengkerama, bukankah hanya menjadikannya kambuh?
Maka atas nama ingin pulih, dijalaninya terseok maupun tertatih
Sebab sekali saja menyapa, runtuhlah dunia
Berlebihan kiranya kau mengira, namun yang dirasakan memang begitu adanya
— pemintalkata
hutan digunduli
rakyat di provokasi
mahasiswa turun aksi
kembali ke zaman reformasi
kebebasan diperketat
yang keblabasan malah dipercepat
ini bukan tontonan pelepas penat
tapi menyadarkan para pengkhianat
negara ini milik bersama
tapi penguasa yang seenaknya
jika tidak ada kita-kita
kau bisa apa
kekuasaan bukan tolak ukur
sampai urusan selangkangan saja diatur
kalian itu cocoknya hanya tidur
sekalinya kerja malah ngelantur
kasihan ibu pertiwi
diperkosa anak sendiri
cakapnya saja mengabdi
tapi sikapnya bak pencuri
Indonesia
berduka
atau
bercanda
— beruangbetina
#dandelion
rakyat di provokasi
mahasiswa turun aksi
kembali ke zaman reformasi
kebebasan diperketat
yang keblabasan malah dipercepat
ini bukan tontonan pelepas penat
tapi menyadarkan para pengkhianat
negara ini milik bersama
tapi penguasa yang seenaknya
jika tidak ada kita-kita
kau bisa apa
kekuasaan bukan tolak ukur
sampai urusan selangkangan saja diatur
kalian itu cocoknya hanya tidur
sekalinya kerja malah ngelantur
kasihan ibu pertiwi
diperkosa anak sendiri
cakapnya saja mengabdi
tapi sikapnya bak pencuri
Indonesia
berduka
atau
bercanda
— beruangbetina
#dandelion
"Tuhan Maha Tidak Romantis." tegasku.
Secercah harapan, sebongkah kebaikan, dan segumpal kasih untuk kita
Kerap kali secara gamblang dibungkusNya dengan kertas minyak yang usang dan tak layak pakai.
Kertas itu tak ada mengilapnya.
Apalagi berpendar.
Tak ada romantisnya.
Persetan dengan bintang gemerlapan di malam ini!
Sebuah asteroid utusan neraka terbakar di atmosfer
Jatuh. Menghujam ke kedalaman hatiku.
Membawa kabar beraroma bangkai,
Titipan 666 pasukan malaikat pertama.
Melalui kacamata kita,
Seketika telah aku lihat
Ledakan supernova di palung kekosongan jiwa terkelam.
Atas ketetapanNya, yang Maha Pembolak-balik Hati manusia
Apakah Tuhan sebercanda ini?.
Maafkan aku yang arogan!
Dengan sumpah serapah Aku mengutuki malam ini.
Karena, tak mampu mengambing-hitamkan Tuhan.
[Kepada Semesta, terima kasih telah menciptakan tarian seperti ini.]
Secercah harapan, sebongkah kebaikan, dan segumpal kasih untuk kita
Kerap kali secara gamblang dibungkusNya dengan kertas minyak yang usang dan tak layak pakai.
Kertas itu tak ada mengilapnya.
Apalagi berpendar.
Tak ada romantisnya.
Persetan dengan bintang gemerlapan di malam ini!
Sebuah asteroid utusan neraka terbakar di atmosfer
Jatuh. Menghujam ke kedalaman hatiku.
Membawa kabar beraroma bangkai,
Titipan 666 pasukan malaikat pertama.
Melalui kacamata kita,
Seketika telah aku lihat
Ledakan supernova di palung kekosongan jiwa terkelam.
Atas ketetapanNya, yang Maha Pembolak-balik Hati manusia
Apakah Tuhan sebercanda ini?.
Maafkan aku yang arogan!
Dengan sumpah serapah Aku mengutuki malam ini.
Karena, tak mampu mengambing-hitamkan Tuhan.
[Kepada Semesta, terima kasih telah menciptakan tarian seperti ini.]
[PERCAKAPAN DALAM PERJALANAN]
Barangkali; tangis berbicara pada tepi pusara
menjelma secercah harapan dan kewajiban
pada bunga-bunga tak kunjung mati berdiri
kau tetap abadi dihati: tiada melapisi isi
Nun, ketika aku sedang dalam perjalanan
harum tubuhmu dekat terasa menganga
cahaya bagai titik jembatan pertemuan
serta di sudut bibir kurapal sebuah doa
Mereka berkata: aku telah tiada!
sedang kita mengungsi bersama
berlindung atas dunia mengeras
abadi di sini, kita lanjut menikmati
Nun, barangkali segala kesalahan dan keresahan adalah letak perenungan
jangan, jangan kaujauhkan aku disisi
Alat kucipta tak mampu mengantar pertemuan,
tetapi ada senjata adalah doa untuk menjaga kenang kesepianmu
Nun, sedikit lagi kita akan bersama-sama
dalam segala tabungan derita dan cita
bukan di istana atau barisan rumah duka
kita abadi dari segala ibadah yang telah kita jalani
— mesinketik
Barangkali; tangis berbicara pada tepi pusara
menjelma secercah harapan dan kewajiban
pada bunga-bunga tak kunjung mati berdiri
kau tetap abadi dihati: tiada melapisi isi
Nun, ketika aku sedang dalam perjalanan
harum tubuhmu dekat terasa menganga
cahaya bagai titik jembatan pertemuan
serta di sudut bibir kurapal sebuah doa
Mereka berkata: aku telah tiada!
sedang kita mengungsi bersama
berlindung atas dunia mengeras
abadi di sini, kita lanjut menikmati
Nun, barangkali segala kesalahan dan keresahan adalah letak perenungan
jangan, jangan kaujauhkan aku disisi
Alat kucipta tak mampu mengantar pertemuan,
tetapi ada senjata adalah doa untuk menjaga kenang kesepianmu
Nun, sedikit lagi kita akan bersama-sama
dalam segala tabungan derita dan cita
bukan di istana atau barisan rumah duka
kita abadi dari segala ibadah yang telah kita jalani
— mesinketik
[Radiohead dan Woody Allen]
Aku ingin menyapamu melalui sebuah aksara,
berharap netramu sudi tuk singgah pada tiap-tiap abjad yang telah aku rangkum.
Aku marah dengan kenyataan; engkau istimewa, liar, dan sulit dikendalikan--dan aku suka.
Kau mengetahui banyak hal magis; kau bahkan mampu mendengar gelak kesunyian dan
keterasingan yang tak bisa diterka oleh gendang telingaku.
Pada kesunyian, kau mampu meraba barisan puisi pada sebilah ilusi.
Keterasingan; kau temukan rumahmu dan menutup diri tuk mendengar alunan yang
memabukkan lebih dari anggur--hanya saja, kau tak mau berbagi denganku.
Netramu berjalan seperti kamera statis pada sebuah balada sinema--memperlihatkan hal-hal detil yang luput dari penglihatanku; meleburkan manis pahitnya serangkaian peristiwa.
Kau adalah seni.
Manuskrip ini mungkin terdengar skeptis dan sedikit sarkastik--jelas kau tidak akan menyukainya.
Aksara ini tercipta dari sebuah pemikiran realis; dengan humor kering yang kerap kali menertawakan diri sendiri karena tak mampu membuatmu melirik meski barang sedetik.
Deretan aksara pada tulisan ini mungkin saja terdengar sumbang bagimu, karena kau tak pernah menyukai obsesi tabu.
Kau akan mencari cara untuk melenyapkanku.
Dan tulisan ini... Akan tetap di sini, menunggu hingga suatu hari nanti netramu sudi untuk menyentuhnya.
Lalu, nuranimu perlahan menyadari bahwa kesempurnaan ialah sebuah kemustahilan absolut.
Kata mereka 'lebih baik terlambat'. Namun, aku berpacu dengan waktu--tulisan ini abadi, sedang aku adalah kenyataan fana.
-- Mega
#BlueVincent
Aku ingin menyapamu melalui sebuah aksara,
berharap netramu sudi tuk singgah pada tiap-tiap abjad yang telah aku rangkum.
Aku marah dengan kenyataan; engkau istimewa, liar, dan sulit dikendalikan--dan aku suka.
Kau mengetahui banyak hal magis; kau bahkan mampu mendengar gelak kesunyian dan
keterasingan yang tak bisa diterka oleh gendang telingaku.
Pada kesunyian, kau mampu meraba barisan puisi pada sebilah ilusi.
Keterasingan; kau temukan rumahmu dan menutup diri tuk mendengar alunan yang
memabukkan lebih dari anggur--hanya saja, kau tak mau berbagi denganku.
Netramu berjalan seperti kamera statis pada sebuah balada sinema--memperlihatkan hal-hal detil yang luput dari penglihatanku; meleburkan manis pahitnya serangkaian peristiwa.
Kau adalah seni.
Manuskrip ini mungkin terdengar skeptis dan sedikit sarkastik--jelas kau tidak akan menyukainya.
Aksara ini tercipta dari sebuah pemikiran realis; dengan humor kering yang kerap kali menertawakan diri sendiri karena tak mampu membuatmu melirik meski barang sedetik.
Deretan aksara pada tulisan ini mungkin saja terdengar sumbang bagimu, karena kau tak pernah menyukai obsesi tabu.
Kau akan mencari cara untuk melenyapkanku.
Dan tulisan ini... Akan tetap di sini, menunggu hingga suatu hari nanti netramu sudi untuk menyentuhnya.
Lalu, nuranimu perlahan menyadari bahwa kesempurnaan ialah sebuah kemustahilan absolut.
Kata mereka 'lebih baik terlambat'. Namun, aku berpacu dengan waktu--tulisan ini abadi, sedang aku adalah kenyataan fana.
-- Mega
#BlueVincent
Jika suatu saat waktu kembali mempertemukan kita, lepaskanlah seluruh temali kusut yang mengikat kita bersama. Seluruh tawa yang pernah ada di antara kita, semuanya hanyalah bagian dari ilusi belaka. Air mata yang menetes sudah terjatuh sejak lama—di masa lalu yang tidak lagi nyata. Hal yang bisa kita lakukan hanyalah membiarkan masa lalu berdiam di tempat seharusnya. Rasa yang ada masih bersembunyi di pojok hati penuh luka, sudah tertimpa oleh rasa benci akan perpisahan tanpa sedikit pun kata. Namun biarlah rasa itu menjadi satu dengan kenangan dan masa lalu yang tidak nyata—tanpa peduli seberapa keras ia berteriak di depan mata.
— gva
#drearycrow
— gva
#drearycrow
[ Aku Berhenti Menanti, Tapi Tidak untuk Mengagumi ]
Hari ini purnama.
Dan itu tandanya sudah dua bulan aku libur dalam meramu kata. Beruntunglah malam ranum ini aku kembali mengambil pena. Hampir tumpah semuanya.
Percakapan tadi siang tidak menyenangkan, juga tadi malam. Matamu masih kecokelatan. Tapi senyum di pipi itu sudah seperti ditelan siluman. Aku hanya berbicara miris melalui tatapan.
Itu sama sekali bukan hal yang membuatku bersorai. Mengingatnya lagi, hanya akan membuat kadar benciku terhadap angin yang meniup rambutmu sore tadi tambah meninggi. Tapi aku tidak berniat melupakannya sama sekali ketika kita sudah benar-benar tidak akan bertemu lagi. Aku sungguhan saat menulis ini.
Semua sikapmu membuatku berpikir kembali berkali-kali. Aku dibuat luar biasa dilema untuk tetap berdiri di garis hitam atau justru putih.
Aku memang serius waktu berkata bahwa padamu aku menyimpan rasa dan tak pernah peduli perihal balasan yang 'kan kuterima. Bahkan ingin rasanya kuumumkan pada dunia bahwa remaja yang satu ini sedang asyik-asyiknya dicandu oleh asmara.
Sayangnya, purnama kini, aku paham sudah dilempar sejak bahkan sebelum aku sadar kalau debaranku padamu ini berbeda. Menandingi dungu seekor lembu, aku memang begitu.
"Untuk apa bertahan suka pada orang yang bahkan sama sekali tidak pernah mengajak kita berbincang!" kata guruku suatu hari kepada anaknya yang kemudian anaknya berkata padaku.
Mulutku terkunci dan jejak-jejak kaki mulai berjalan mendekati. Kamu mulai beranjak pergi saat kubilang tetap di sini. Ya sudah, untuk apa aku masih menanti?
Terima kasih atas semua yang telah terjadi dan beberapa puing kenangan yang kamu beri. Mungkin bagimu tak seberapa, tapi buatku itu luar biasa.
— Nabilah Azhar.
Semoga dapat diingat lekat-lekat. Semoga tidak berat.
#sajakrasacokelat
Hari ini purnama.
Dan itu tandanya sudah dua bulan aku libur dalam meramu kata. Beruntunglah malam ranum ini aku kembali mengambil pena. Hampir tumpah semuanya.
Percakapan tadi siang tidak menyenangkan, juga tadi malam. Matamu masih kecokelatan. Tapi senyum di pipi itu sudah seperti ditelan siluman. Aku hanya berbicara miris melalui tatapan.
Itu sama sekali bukan hal yang membuatku bersorai. Mengingatnya lagi, hanya akan membuat kadar benciku terhadap angin yang meniup rambutmu sore tadi tambah meninggi. Tapi aku tidak berniat melupakannya sama sekali ketika kita sudah benar-benar tidak akan bertemu lagi. Aku sungguhan saat menulis ini.
Semua sikapmu membuatku berpikir kembali berkali-kali. Aku dibuat luar biasa dilema untuk tetap berdiri di garis hitam atau justru putih.
Aku memang serius waktu berkata bahwa padamu aku menyimpan rasa dan tak pernah peduli perihal balasan yang 'kan kuterima. Bahkan ingin rasanya kuumumkan pada dunia bahwa remaja yang satu ini sedang asyik-asyiknya dicandu oleh asmara.
Sayangnya, purnama kini, aku paham sudah dilempar sejak bahkan sebelum aku sadar kalau debaranku padamu ini berbeda. Menandingi dungu seekor lembu, aku memang begitu.
"Untuk apa bertahan suka pada orang yang bahkan sama sekali tidak pernah mengajak kita berbincang!" kata guruku suatu hari kepada anaknya yang kemudian anaknya berkata padaku.
Mulutku terkunci dan jejak-jejak kaki mulai berjalan mendekati. Kamu mulai beranjak pergi saat kubilang tetap di sini. Ya sudah, untuk apa aku masih menanti?
Terima kasih atas semua yang telah terjadi dan beberapa puing kenangan yang kamu beri. Mungkin bagimu tak seberapa, tapi buatku itu luar biasa.
— Nabilah Azhar.
Semoga dapat diingat lekat-lekat. Semoga tidak berat.
#sajakrasacokelat
sedang redup-redup mu
adalah yang paling aku khawatirkan.
ketika semuanya teralih sangat cepat
dengan apa yang sudah dirangkai sebegitu
eloknya, hingga duniamu—duniaku terasa
begitu haus akan jurnal yang
sebenarnya sudah sangat semu dan kacau.
kasih,
aku tumbuh dari belas kasihan malaikat yang sedang bersyair.
jadi, bilamana kau temui aku dalam duka,
tolong segerakan aku pada lapang dada yang serius.
bawa aku kedalam ramai nya lokacipta hunian para hati yang beruntung.
bantu aku ya, sayang?
—puansengkarut
#Cassiopeiars
adalah yang paling aku khawatirkan.
ketika semuanya teralih sangat cepat
dengan apa yang sudah dirangkai sebegitu
eloknya, hingga duniamu—duniaku terasa
begitu haus akan jurnal yang
sebenarnya sudah sangat semu dan kacau.
kasih,
aku tumbuh dari belas kasihan malaikat yang sedang bersyair.
jadi, bilamana kau temui aku dalam duka,
tolong segerakan aku pada lapang dada yang serius.
bawa aku kedalam ramai nya lokacipta hunian para hati yang beruntung.
bantu aku ya, sayang?
—puansengkarut
#Cassiopeiars
[Opera Afeksi]
Gelap. Aku terkapar, sedangkan kau tak beranjak. Deru nafas demi nafas membanjiri sunyi. Kadang riuh memang sediam itu.
Aku sadar bahwa kau butuh dipeluk, seberjarak itu punggungmu dengan kalbuku. Kutangkap abstraksimu yang meleleh dari air mata yang diam-diam membulir ke pembaringan. Kau sesenggukan, membelakangi emosi yang tak pernah bisa kauterjemahkan itu apa.
Aku adalah lelaki yang alpa soal membaca jiwa, meski ragamu kucoba ajak bicara. Barangkali satu hal kecil yang pernah dikatakan pepatah, bahwa cobalah kaupeluk perempuanmu meski ia ingin memukulmu sebab semakin kencang pukulannya, semakin dalam ia mencintaimu. Pepatah itu masuk akalkah atau tidak, entah. Pula aku tak ingin mengadu utas-utas tanya yang bernada kenapa.
Hanya saja, aku tak kuat. Kucoba mendekapmu lewat peluk yang semoga itu damai bagi setiap resah yang mengunci lisanmu. Ada sebab barangkali benak perempuan diciptakan dalam benang-benang perasa yang karut marut menggebuk dalam impuls menuju detak jantungnya, sedang logikanya sudah tumbang dengan seputih-putihnya kibar bendera yang menyampaikan bahwa hatinya sudah menyerah sejak semula. Perempuan tahu, segalanya pun pasti akan diberikannya bila sudah jatuh cinta.
“Kamu ngga pergi, kan?” keluhmu.
Kenapa resahmu mengundang tanya yang membuat rasa iba sekaligus amarahku seakan bersatu? Maksudmu apa, apakah aku lelaki gampangan?
Sebab setiap jiwa dan raga yang takdirnya menyatu adalah sebuah sakramen yang meluruhkan setiap tangga ragu demi ragu. Pula aku disini bukanlah jalang yang ketukan pintunya tak kauizinkan masuk. Berpilih-pilin pikiranku mencari jawab yang paling mujarab, pun hendak kucoba lempar setiap amarah yang seringkali membuatku kalah. Aku ingin menang, lalu menjadi dirigen yang mampu menguasai keseluruhan opera afeksi ini.
Tak ada jawab yang kulantunkan lewat bibir, sebab jawabnya adalah dekapku yang makin erat. Semoga kau tahu, bahwa dengan cara itulah aku melayangkan maklumat ; bahkan, mencoba lepas darimu saja aku merasa berat.
— miftahulfk
#berolahrasa
Gelap. Aku terkapar, sedangkan kau tak beranjak. Deru nafas demi nafas membanjiri sunyi. Kadang riuh memang sediam itu.
Aku sadar bahwa kau butuh dipeluk, seberjarak itu punggungmu dengan kalbuku. Kutangkap abstraksimu yang meleleh dari air mata yang diam-diam membulir ke pembaringan. Kau sesenggukan, membelakangi emosi yang tak pernah bisa kauterjemahkan itu apa.
Aku adalah lelaki yang alpa soal membaca jiwa, meski ragamu kucoba ajak bicara. Barangkali satu hal kecil yang pernah dikatakan pepatah, bahwa cobalah kaupeluk perempuanmu meski ia ingin memukulmu sebab semakin kencang pukulannya, semakin dalam ia mencintaimu. Pepatah itu masuk akalkah atau tidak, entah. Pula aku tak ingin mengadu utas-utas tanya yang bernada kenapa.
Hanya saja, aku tak kuat. Kucoba mendekapmu lewat peluk yang semoga itu damai bagi setiap resah yang mengunci lisanmu. Ada sebab barangkali benak perempuan diciptakan dalam benang-benang perasa yang karut marut menggebuk dalam impuls menuju detak jantungnya, sedang logikanya sudah tumbang dengan seputih-putihnya kibar bendera yang menyampaikan bahwa hatinya sudah menyerah sejak semula. Perempuan tahu, segalanya pun pasti akan diberikannya bila sudah jatuh cinta.
“Kamu ngga pergi, kan?” keluhmu.
Kenapa resahmu mengundang tanya yang membuat rasa iba sekaligus amarahku seakan bersatu? Maksudmu apa, apakah aku lelaki gampangan?
Sebab setiap jiwa dan raga yang takdirnya menyatu adalah sebuah sakramen yang meluruhkan setiap tangga ragu demi ragu. Pula aku disini bukanlah jalang yang ketukan pintunya tak kauizinkan masuk. Berpilih-pilin pikiranku mencari jawab yang paling mujarab, pun hendak kucoba lempar setiap amarah yang seringkali membuatku kalah. Aku ingin menang, lalu menjadi dirigen yang mampu menguasai keseluruhan opera afeksi ini.
Tak ada jawab yang kulantunkan lewat bibir, sebab jawabnya adalah dekapku yang makin erat. Semoga kau tahu, bahwa dengan cara itulah aku melayangkan maklumat ; bahkan, mencoba lepas darimu saja aku merasa berat.
— miftahulfk
#berolahrasa
menarilah lebih bebas dari rembulan
dalam baka hati kembali
dengan aman nyatanya derumu
karena tulusnya asmara kita
‘kan lenyap segala prasangka yang buruk
ukir aku di tulang rusukmu
biar ku dekap dan rengkuh sambil ujarkan cintaku
cintamu tentang bagaimana kau rasakan
debur ombak dinadiku
agar kau tahu kemana harus berlabuh
[cc: Sal Priadi]
dalam baka hati kembali
dengan aman nyatanya derumu
karena tulusnya asmara kita
‘kan lenyap segala prasangka yang buruk
ukir aku di tulang rusukmu
biar ku dekap dan rengkuh sambil ujarkan cintaku
cintamu tentang bagaimana kau rasakan
debur ombak dinadiku
agar kau tahu kemana harus berlabuh
[cc: Sal Priadi]
[Tubuh Puisi]
Kau perkosa tubuh malam ini
puisiku bunuh diri; tak berani mengarungi
dari bilik; ia menyisir tangis paling mahir
pakaiannya adalah alat peledak lunturkan kata
Lalu jika sampai tergoda; binasa segala
semua akan tiba pada masanya
dari makna sampai ke kata pemanis cinta
sia-sia anak yang dicipta: pertanyaan?!
Kalau hujan mampu melupakan perannya
tak ada genangan yang mengenang
meredakan segala ditanggung—dijunjung
relung; hanya ada luka yang menggunung
Seumpama nyawa adalah senjata
biar ia berlari dan berkata-kata
pada pusara lapangkan dada
kita hidup untuk menabung retorika
— mesinketik
Kau perkosa tubuh malam ini
puisiku bunuh diri; tak berani mengarungi
dari bilik; ia menyisir tangis paling mahir
pakaiannya adalah alat peledak lunturkan kata
Lalu jika sampai tergoda; binasa segala
semua akan tiba pada masanya
dari makna sampai ke kata pemanis cinta
sia-sia anak yang dicipta: pertanyaan?!
Kalau hujan mampu melupakan perannya
tak ada genangan yang mengenang
meredakan segala ditanggung—dijunjung
relung; hanya ada luka yang menggunung
Seumpama nyawa adalah senjata
biar ia berlari dan berkata-kata
pada pusara lapangkan dada
kita hidup untuk menabung retorika
— mesinketik
[ P e l a r i a n ]
hangat-hangat surya campakkan asa //
fajar cengkrama, semesta angkat suara //
atmosfir kegamangan jelas-jelas tercipta //
rengkuhan sinar menampik lenguhan asmara //
rasa ini, gulung tikar
sebab kondisi sukar //
lebat-lebatnya belukar,
tak lagi ada canda kelakar //
lembayung memendar membutakan segala cara /
mendayung binar netra yang tertekuk angkara /
terhuyung-huyung raga entah kemana /
gemulung asan redup hilang dari buana //
kabar gembira perlahan merenik-renik /
pintalan jiwa meletup-letup pernik /
kasih yang tak sampai,
kini harus rela tergadai //
baskara kehilangan cahaya /
gemintang pergi dari singgasana //
jeladri berdiam menjadi durjasa /
lebam hitam menguak kisah romansa /
melebur sudah kehilangan nuansa //
—bronto-saurus
; aku dan kamu tak lagi menjadi kita. //
#aksaraliar
hangat-hangat surya campakkan asa //
fajar cengkrama, semesta angkat suara //
atmosfir kegamangan jelas-jelas tercipta //
rengkuhan sinar menampik lenguhan asmara //
rasa ini, gulung tikar
sebab kondisi sukar //
lebat-lebatnya belukar,
tak lagi ada canda kelakar //
lembayung memendar membutakan segala cara /
mendayung binar netra yang tertekuk angkara /
terhuyung-huyung raga entah kemana /
gemulung asan redup hilang dari buana //
kabar gembira perlahan merenik-renik /
pintalan jiwa meletup-letup pernik /
kasih yang tak sampai,
kini harus rela tergadai //
baskara kehilangan cahaya /
gemintang pergi dari singgasana //
jeladri berdiam menjadi durjasa /
lebam hitam menguak kisah romansa /
melebur sudah kehilangan nuansa //
—bronto-saurus
; aku dan kamu tak lagi menjadi kita. //
#aksaraliar
[Singkat Sedekat Sekat]
Secarik rindu teruntuk tuan nan jauh di sana.
Saya sangat sadar, tuan tidak mungkin membacanya karena keterlambatan atas pengakuan saya.
Tapi tolong izinkan saya mengenang tuan untuk terakhir kalinya melalui tulisan ini.
Berawal ketika langit malam sedang cerah, handphone di genggaman tangan berdering satu kali, menandakan satu pesan telah masuk. Entah darimana datangnya, tiba-tiba muncul perasaan tidak nyaman menyelimuti hati. Berulang kali saya membaca pesan tersebut dengan seksama. Tanpa berpikir lagi saya langsung bergegas untuk memastikan kebenaran isi pesan tersebut.
Sesampainya saya di tempat yang tertera pada pesan tersebut, langkah kaki ini berlari kecil. Beberapa pasang mata tertuju pada saya. Namun saya hiraukan. Kaki ini berhenti untuk melihat sekeliling dan mulai mencari anda.
Oh syukurlah akhirnya saya bisa menemukan anda. Hampir saja saya berputus asa mencari. Dengan mantap saya melangkah meski sedikit bergetar. Anda tahu kan perasaan senang bercampur haru selalu hadir ketika seseorang bertemu dengan sang pujaan hatinya. Sungguh ini adalah kejutan yang sangat luar biasa!
Saya tersenyum dihadapan anda
meski tiba-tiba bulir di pelipis mata berjatuhan tanpa disengaja. Mungkin ini euforia hati. Senangnya bisa melihat anda sedekat ini untuk pertama kalinya, pun--saya benci melihat anda sedekat ini untuk terakhir kalinya pula.
Menyakitkan memang, menghayati takdir yang begitu singkat mempertemukan kita. Tetapi saya bersyukur, telah mengenal anda yang begitu luar biasa bagi saya. Dan pagi itu saya masih diberi waktu untuk bisa melihat senyum anda yang terakhir kalinya, sebelum tangis ini pecah menyadari sekat ini datang.
Entah saya harus bagaimana. Yang saya tahu;
Kini, sepasang mata indah (dari seorang lelaki sederhana) yang selalu menggetarkan hati saya telah tertutup rapat—selamanya.
Tuan, saya menyayangi anda, tapi Tuhan lebih menyayangi anda.
Berpulanglah.
— beruangbetina
#dandelion
Secarik rindu teruntuk tuan nan jauh di sana.
Saya sangat sadar, tuan tidak mungkin membacanya karena keterlambatan atas pengakuan saya.
Tapi tolong izinkan saya mengenang tuan untuk terakhir kalinya melalui tulisan ini.
Berawal ketika langit malam sedang cerah, handphone di genggaman tangan berdering satu kali, menandakan satu pesan telah masuk. Entah darimana datangnya, tiba-tiba muncul perasaan tidak nyaman menyelimuti hati. Berulang kali saya membaca pesan tersebut dengan seksama. Tanpa berpikir lagi saya langsung bergegas untuk memastikan kebenaran isi pesan tersebut.
Sesampainya saya di tempat yang tertera pada pesan tersebut, langkah kaki ini berlari kecil. Beberapa pasang mata tertuju pada saya. Namun saya hiraukan. Kaki ini berhenti untuk melihat sekeliling dan mulai mencari anda.
Oh syukurlah akhirnya saya bisa menemukan anda. Hampir saja saya berputus asa mencari. Dengan mantap saya melangkah meski sedikit bergetar. Anda tahu kan perasaan senang bercampur haru selalu hadir ketika seseorang bertemu dengan sang pujaan hatinya. Sungguh ini adalah kejutan yang sangat luar biasa!
Saya tersenyum dihadapan anda
meski tiba-tiba bulir di pelipis mata berjatuhan tanpa disengaja. Mungkin ini euforia hati. Senangnya bisa melihat anda sedekat ini untuk pertama kalinya, pun--saya benci melihat anda sedekat ini untuk terakhir kalinya pula.
Menyakitkan memang, menghayati takdir yang begitu singkat mempertemukan kita. Tetapi saya bersyukur, telah mengenal anda yang begitu luar biasa bagi saya. Dan pagi itu saya masih diberi waktu untuk bisa melihat senyum anda yang terakhir kalinya, sebelum tangis ini pecah menyadari sekat ini datang.
Entah saya harus bagaimana. Yang saya tahu;
Kini, sepasang mata indah (dari seorang lelaki sederhana) yang selalu menggetarkan hati saya telah tertutup rapat—selamanya.
Tuan, saya menyayangi anda, tapi Tuhan lebih menyayangi anda.
Berpulanglah.
— beruangbetina
#dandelion
[Hadir]
Kehadiranmu menggugahku
Kehadiranmu ibarat air ditengah kebakaran hebat
Kehadiranmu mengubah suasana hati ini
Hati ini sampai tidak tahu harus bagaimana,
Tidak tahu harus memposisikan diri seperti apa
Ada yang bertanya padaku bagaimana dengan hatiku, aku tidak tahu harus berkata apa
Kau orang baru yang hadir dikala hati ini tidak bertuan
Semua orang bilang kau buruk, tidak sepantasnya memiliki hatiku
Tapi kau berbeda dimataku,
Aku sangat yakin kau berbeda, ya, aku bisa melihatnya
Namun, sekarang kau pergi meninggalkan kisah yang tidak terselesaikan ini
Hanya karena temanmu menyukaiku begitu dalam
Ku mohon jujurlah pada hatimu, biarkan hatimu menerimanya
Aku menunggumu, menunggu kabar darimu
Tetaplah disampingku seperti saat kemarin kau menghapus semua kesedihan ini
Ku mohon, menetaplah.
Kehadiranmu menggugahku
Kehadiranmu ibarat air ditengah kebakaran hebat
Kehadiranmu mengubah suasana hati ini
Hati ini sampai tidak tahu harus bagaimana,
Tidak tahu harus memposisikan diri seperti apa
Ada yang bertanya padaku bagaimana dengan hatiku, aku tidak tahu harus berkata apa
Kau orang baru yang hadir dikala hati ini tidak bertuan
Semua orang bilang kau buruk, tidak sepantasnya memiliki hatiku
Tapi kau berbeda dimataku,
Aku sangat yakin kau berbeda, ya, aku bisa melihatnya
Namun, sekarang kau pergi meninggalkan kisah yang tidak terselesaikan ini
Hanya karena temanmu menyukaiku begitu dalam
Ku mohon jujurlah pada hatimu, biarkan hatimu menerimanya
Aku menunggumu, menunggu kabar darimu
Tetaplah disampingku seperti saat kemarin kau menghapus semua kesedihan ini
Ku mohon, menetaplah.
Satu dan dua,
kita dipertemukan semesta dan hampir bersama.
Tiga dan empat,
bersyukur aku pernah merasakan sempat
Lima dan enam,
semuanya hanyut dan selamanya terbenam.
Hanya ada enam hitungan saja, sengaja.
Sebab hitungan selanjutnya bukan lagi aku yang berada di sana—di relung hatimu yang menempati singgasana dari puncak asmara.
Begitu, cukup dihitung dan kau bisa mengulang kisah yang sama pada lain persona. Tak perlu kaya rasa, karena memang kau sedikit bebal perihal romansa.
Bila andai berhenti menghitung tak diizinkan,
maka tujuh dan delapan,
kau bersuka cita sedang aku jatuh kesakitan.
Hitungan selanjutnya,
kau hidup sentosa dan aku binasa.
— blue dandelion x Nabilah Azhar.
#bluedandelion
#sajakrasacokelat
kita dipertemukan semesta dan hampir bersama.
Tiga dan empat,
bersyukur aku pernah merasakan sempat
Lima dan enam,
semuanya hanyut dan selamanya terbenam.
Hanya ada enam hitungan saja, sengaja.
Sebab hitungan selanjutnya bukan lagi aku yang berada di sana—di relung hatimu yang menempati singgasana dari puncak asmara.
Begitu, cukup dihitung dan kau bisa mengulang kisah yang sama pada lain persona. Tak perlu kaya rasa, karena memang kau sedikit bebal perihal romansa.
Bila andai berhenti menghitung tak diizinkan,
maka tujuh dan delapan,
kau bersuka cita sedang aku jatuh kesakitan.
Hitungan selanjutnya,
kau hidup sentosa dan aku binasa.
— blue dandelion x Nabilah Azhar.
#bluedandelion
#sajakrasacokelat
[ada luka dalam sebuah tawa untuk beberapa orang]
Coba lihat sekitarmu, siapa yang selalu menertawakan sesuatu yang sangat receh paling kencang, senang melakukan hal-hal aneh yang absurd, dan sering membuat sekitarnya untuk tertawa bahagia?
Sesekali, dekati lalu tatap matanya. Disitu kamu akan menemukan bahwa, orang itu adalah orang yang sebenarnya hatinya paling remuk, dan paling tidak berbentuk, paling berantakan, paling tidak karuan.
Orang yang paling sendu, orang yang paling menyedihkan tapi sanggup menutupinya dengan begitu meyakinkan.
Tapi orang itu tetap dan senantiasa mau membuat sekitarnya gembira, hanya untuk sebuah tujuan:
Supaya orang lain yang sedang merasa sedih maupun hancur, tak akan merasa sendirian,
agar tidak perlu seruntuh seperti dirinya dulu;
Tahu kenapa dia melakukan itu?
Selain untuk menyelamatkan orang lain,
dia melakukannya untuk menyelamatkan dirinya sendiri.
Karena untuknya, bahagia orang lain adalah bahagia untuk dirinya.
— francescosatria
#senjadikotatua
Coba lihat sekitarmu, siapa yang selalu menertawakan sesuatu yang sangat receh paling kencang, senang melakukan hal-hal aneh yang absurd, dan sering membuat sekitarnya untuk tertawa bahagia?
Sesekali, dekati lalu tatap matanya. Disitu kamu akan menemukan bahwa, orang itu adalah orang yang sebenarnya hatinya paling remuk, dan paling tidak berbentuk, paling berantakan, paling tidak karuan.
Orang yang paling sendu, orang yang paling menyedihkan tapi sanggup menutupinya dengan begitu meyakinkan.
Tapi orang itu tetap dan senantiasa mau membuat sekitarnya gembira, hanya untuk sebuah tujuan:
Supaya orang lain yang sedang merasa sedih maupun hancur, tak akan merasa sendirian,
agar tidak perlu seruntuh seperti dirinya dulu;
Tahu kenapa dia melakukan itu?
Selain untuk menyelamatkan orang lain,
dia melakukannya untuk menyelamatkan dirinya sendiri.
Karena untuknya, bahagia orang lain adalah bahagia untuk dirinya.
— francescosatria
#senjadikotatua
seperti belati menusuk perisai
ada yang berhenti sebelum usai
seperti mematahkan jeruji yang terpatri
ada yang gemar berjanji —kembali mengingkari
seperti sunyi malam tak berhias
ada yang erat menggenggam lalu memaksa lepas
seperti merah berubah candramawa
ada yang patah bercampur kecewa
seperti gelagah yang tak teguh
ada yang memilih singgah daripada sungguh
—
seperti senja yang tertutup mendung
ada yang bermuram durja di balik senandung
seperti petir yang berdentum menggetarkan jantung
ada yang tersenyum walau hati meraung
seperti bunga matahari di musim semi
ada yang pergi —pantang kembali
seperti putih kertas yang tergurat
ada yang mencoba ikhlas walau sebenarnya berat
seperti hamparan bintang yang membentang
ada yang kembali mengenang dengan perasaan tenang
— beruangbetina
#dandelion
ada yang berhenti sebelum usai
seperti mematahkan jeruji yang terpatri
ada yang gemar berjanji —kembali mengingkari
seperti sunyi malam tak berhias
ada yang erat menggenggam lalu memaksa lepas
seperti merah berubah candramawa
ada yang patah bercampur kecewa
seperti gelagah yang tak teguh
ada yang memilih singgah daripada sungguh
—
seperti senja yang tertutup mendung
ada yang bermuram durja di balik senandung
seperti petir yang berdentum menggetarkan jantung
ada yang tersenyum walau hati meraung
seperti bunga matahari di musim semi
ada yang pergi —pantang kembali
seperti putih kertas yang tergurat
ada yang mencoba ikhlas walau sebenarnya berat
seperti hamparan bintang yang membentang
ada yang kembali mengenang dengan perasaan tenang
— beruangbetina
#dandelion
Kali ini kelabu.
Ini rindu, atau candu?
Ambigu.
Pasti setelah itu biru.
Tangis menderu.
Alufiru.
Dan lagi, setelahnya?
Kalbu membeku dan membisu?
Atau tergugu, gagu, dan termangu tanpa ba-bi-bu.
Atau yang lebih parah lagi, menjadi debu seiring berjalannya waktu?
Entahlah,
semuanya haru-biru.
—kai
#sajakaddicted
Ini rindu, atau candu?
Ambigu.
Pasti setelah itu biru.
Tangis menderu.
Alufiru.
Dan lagi, setelahnya?
Kalbu membeku dan membisu?
Atau tergugu, gagu, dan termangu tanpa ba-bi-bu.
Atau yang lebih parah lagi, menjadi debu seiring berjalannya waktu?
Entahlah,
semuanya haru-biru.
—kai
#sajakaddicted
[Konsekuensi Dusta Dalam Cinta]
Saat kamu berbohong,
itu artinya kamu sudah siap ada cinta yang akan berkurang. Itu artinya kamu sudah siap ada langkah kaki yang tak lagi berjalan berdampingan. Itu artinya kamu sudah siap akan ada kisah yang tak lagi berjalan dengan baik. Itu artinya, seseorang yang kamu bohongi tak lagi begitu berarti.
Seringkali kita mengira, kebohongan akan membuat cinta di hati seseorang yang dibohongi berkurang. Padahal bukankah sering kita temui, seseorang yang begitu sering dibohongi, seseorang yang menangis di tengah malam yang sunyi, seseorang yang ingin melepas namun malah menerimanya kembali, tetap mempertahankan seseorang yang ia duga sebagai cinta sejati.
Itu karena, Sang Dusta tahu bahwa cinta adalah sebuah hal yang sakral, yang tak akan mampu apa pun unsurnya untuk berlaku buruk terhadapnya, maka dusta tak akan mungkin untuk mengintervensi cinta di hati yang tak melakukan kesalahan, apalagi mengurangi cinta di hati seseorang yang dibohongi. Namun Sang Dusta tak akan segan untuk mengurangi rasa cinta di hati seseorang yang membohongi.
Meskipun seseorang yang ia cintai telah berbohong berulang kali. Hanya karena William Shakespeare berkata bahwa “Perjalanan cinta sejati tidak pernah berjalan mulus.” Bukan berarti lukamu atas dustanya adalah bagian dari cinta sejati yang tak berjalan mulus. Cinta sejati memang tak pernah berjalan mulus, sebab dipenuhi rintangan untuk dihadapi berdua dengan kesetiaan di hati keduanya, bukan dihadapi hanya oleh dirimu seorang. Cinta sejati tak pernah berjalan mulus, yaitu saat dunia memberikanmu cobaan di mana jika salah satu merasakan duka, maka duka itu akan dirasakan bersama. Bukan malah duka itu disebabkan olehnya.
Maka harus kau tahu, ada satu hukuman yang tak seorang pembohong pun mampu untuk menghindarinya. Sehebat apa pun ia menyembunyikan kebohongannya, hukuman itu tetap tak dapat dihindarinya. Hukuman itu adalah, berkurangnya cinta yang ia miliki, tanpa ia sempat untuk menyadari.
Semakin sering ia berbohong, semakin besar pula cinta itu hilang dari hatinya. Padahal, cinta adalah rasa atas energi yang tak mudah didapatkan. Perlu waktu yang lama sebelum akhirnya kita dipertemukan dengan seseorang yang memicu agar cinta itu tumbuh.
Kebohongan besar atau pun kecil yang dilakukan berulang kali, membuat energi cinta yang kita miliki semakin menipis. Akibatnya, kita tak lagi bisa merasakan unsur romance berjalan dengan baik di dalam sebuah hubungan.
Dan saat romance terhenti, saat itulah sebuah hubungan tak sebaiknya dipaksakan tetap terjalin. Karena hanya akan kau temui siklus yang akan membuatmu lelah. Karena kau hanya akan menjumpai seorang teman yang mendengarkan ceritamu tanpa peduli lagi, sebab ia telah lelah mendengar keluh yang selalu sama. Pada akhirnya engkau bagaikan seseorang yang menyelami lautan harapan yang tak memiliki dasar kepastian. Semakin dalam kamu selami, maka permukaan semakin jauh kamu tinggalkan. Lalu kau terjebak di antara ketidakinginanmu untuk bertahan, namun terlalu jauh untuk kembali ke permukaan.
Demikianlah dusta itu bekerja. Jika cinta bagaikan rangkaian puzzle yang terbentuk utuh di dua hati anak manusia yang saling mencintai. Maka satu kebohongan yang kau lakukan kepadanya, bagaikan satu potongan puzzle yang terjatuh dari hatimu sendiri. Semakin sering kau berbohong, tak akan ada lagi potongan puzzle yang tersisa. Lantas cintamu pun melemah. Dan kau lebih tertarik kepada orang lain. Kau bagaikan menyusun rangkaian puzzle yang baru.
Itulah mengapa, seseorang begitu mudah melukai hati seseorang yang mencintainya, sebab cinta di hatinya, sudah tak lagi ada. Jika kau berhenti berbohong mulai saat ini, kau bukan hanya menyelamatkan hubungan yang ada, demikian juga kau menyelamatkan cinta di hatimu untuknya agar tetap ada.
— Ars
#Arstories
Saat kamu berbohong,
itu artinya kamu sudah siap ada cinta yang akan berkurang. Itu artinya kamu sudah siap ada langkah kaki yang tak lagi berjalan berdampingan. Itu artinya kamu sudah siap akan ada kisah yang tak lagi berjalan dengan baik. Itu artinya, seseorang yang kamu bohongi tak lagi begitu berarti.
Seringkali kita mengira, kebohongan akan membuat cinta di hati seseorang yang dibohongi berkurang. Padahal bukankah sering kita temui, seseorang yang begitu sering dibohongi, seseorang yang menangis di tengah malam yang sunyi, seseorang yang ingin melepas namun malah menerimanya kembali, tetap mempertahankan seseorang yang ia duga sebagai cinta sejati.
Itu karena, Sang Dusta tahu bahwa cinta adalah sebuah hal yang sakral, yang tak akan mampu apa pun unsurnya untuk berlaku buruk terhadapnya, maka dusta tak akan mungkin untuk mengintervensi cinta di hati yang tak melakukan kesalahan, apalagi mengurangi cinta di hati seseorang yang dibohongi. Namun Sang Dusta tak akan segan untuk mengurangi rasa cinta di hati seseorang yang membohongi.
Meskipun seseorang yang ia cintai telah berbohong berulang kali. Hanya karena William Shakespeare berkata bahwa “Perjalanan cinta sejati tidak pernah berjalan mulus.” Bukan berarti lukamu atas dustanya adalah bagian dari cinta sejati yang tak berjalan mulus. Cinta sejati memang tak pernah berjalan mulus, sebab dipenuhi rintangan untuk dihadapi berdua dengan kesetiaan di hati keduanya, bukan dihadapi hanya oleh dirimu seorang. Cinta sejati tak pernah berjalan mulus, yaitu saat dunia memberikanmu cobaan di mana jika salah satu merasakan duka, maka duka itu akan dirasakan bersama. Bukan malah duka itu disebabkan olehnya.
Maka harus kau tahu, ada satu hukuman yang tak seorang pembohong pun mampu untuk menghindarinya. Sehebat apa pun ia menyembunyikan kebohongannya, hukuman itu tetap tak dapat dihindarinya. Hukuman itu adalah, berkurangnya cinta yang ia miliki, tanpa ia sempat untuk menyadari.
Semakin sering ia berbohong, semakin besar pula cinta itu hilang dari hatinya. Padahal, cinta adalah rasa atas energi yang tak mudah didapatkan. Perlu waktu yang lama sebelum akhirnya kita dipertemukan dengan seseorang yang memicu agar cinta itu tumbuh.
Kebohongan besar atau pun kecil yang dilakukan berulang kali, membuat energi cinta yang kita miliki semakin menipis. Akibatnya, kita tak lagi bisa merasakan unsur romance berjalan dengan baik di dalam sebuah hubungan.
Dan saat romance terhenti, saat itulah sebuah hubungan tak sebaiknya dipaksakan tetap terjalin. Karena hanya akan kau temui siklus yang akan membuatmu lelah. Karena kau hanya akan menjumpai seorang teman yang mendengarkan ceritamu tanpa peduli lagi, sebab ia telah lelah mendengar keluh yang selalu sama. Pada akhirnya engkau bagaikan seseorang yang menyelami lautan harapan yang tak memiliki dasar kepastian. Semakin dalam kamu selami, maka permukaan semakin jauh kamu tinggalkan. Lalu kau terjebak di antara ketidakinginanmu untuk bertahan, namun terlalu jauh untuk kembali ke permukaan.
Demikianlah dusta itu bekerja. Jika cinta bagaikan rangkaian puzzle yang terbentuk utuh di dua hati anak manusia yang saling mencintai. Maka satu kebohongan yang kau lakukan kepadanya, bagaikan satu potongan puzzle yang terjatuh dari hatimu sendiri. Semakin sering kau berbohong, tak akan ada lagi potongan puzzle yang tersisa. Lantas cintamu pun melemah. Dan kau lebih tertarik kepada orang lain. Kau bagaikan menyusun rangkaian puzzle yang baru.
Itulah mengapa, seseorang begitu mudah melukai hati seseorang yang mencintainya, sebab cinta di hatinya, sudah tak lagi ada. Jika kau berhenti berbohong mulai saat ini, kau bukan hanya menyelamatkan hubungan yang ada, demikian juga kau menyelamatkan cinta di hatimu untuknya agar tetap ada.
— Ars
#Arstories
[Yang Baik.]
Yang aku tahu, kamu itu retak
dalamnya. Hampir setengah paru-parumu
legam karena hadirnya awan yang
kau buat sebab hal-hal yang tidak
lahir sesuai yang kau ingin. Lekung
senyummu pun hanya berdasarkan
pada tipu-tipu guna menutup
lubang luka pada dada.
Yang aku tahu, setengah sayapmu
sudah dilahap pilu. Terbakar dan
linu. Di pundakmu bertengger bayang
dengan taring yang tajam. Yang jika
kau tetap dengarkan suaranya, ia
akan terus membuat pertengkaran.
Peperangan. Yang undang angin ribut.
Yang selalu ingin kau mengalah.
Engkau maca purwarupa gehenna
yang mencapai titik sempurna. Engkau
buat duka terbalut oleh suka cita sampai
melupa bahwa biram-biram sudah
jauh tercipta. Engkau berpendar
ulurkan tangan 'tuk menolong
satu sampai tiga manusia sampai
melupa bahwa kau pun, jua, sedang
di ambang kekalahan. Kau—
mendekap erat sedang kokang
terjahit di kanan. Yang aku tahu,
dirimu ingin selamat namun
yang di pundak terus jatuhkan cumbu
pada tekak.
Kasih, yang 'ku tahu, dirimu indah
dan semua yang undang gundah—
akan hilang jika kau mulai membuka
mata dan ucap kata maaf. Pada diri
dan yang lalu. Pada biram dan malu
dan pilu dan aku tahu, engkau sangat,
sangat, sangat mampu.
— Luar Bumi.
#darkesthour
Yang aku tahu, kamu itu retak
dalamnya. Hampir setengah paru-parumu
legam karena hadirnya awan yang
kau buat sebab hal-hal yang tidak
lahir sesuai yang kau ingin. Lekung
senyummu pun hanya berdasarkan
pada tipu-tipu guna menutup
lubang luka pada dada.
Yang aku tahu, setengah sayapmu
sudah dilahap pilu. Terbakar dan
linu. Di pundakmu bertengger bayang
dengan taring yang tajam. Yang jika
kau tetap dengarkan suaranya, ia
akan terus membuat pertengkaran.
Peperangan. Yang undang angin ribut.
Yang selalu ingin kau mengalah.
Engkau maca purwarupa gehenna
yang mencapai titik sempurna. Engkau
buat duka terbalut oleh suka cita sampai
melupa bahwa biram-biram sudah
jauh tercipta. Engkau berpendar
ulurkan tangan 'tuk menolong
satu sampai tiga manusia sampai
melupa bahwa kau pun, jua, sedang
di ambang kekalahan. Kau—
mendekap erat sedang kokang
terjahit di kanan. Yang aku tahu,
dirimu ingin selamat namun
yang di pundak terus jatuhkan cumbu
pada tekak.
Kasih, yang 'ku tahu, dirimu indah
dan semua yang undang gundah—
akan hilang jika kau mulai membuka
mata dan ucap kata maaf. Pada diri
dan yang lalu. Pada biram dan malu
dan pilu dan aku tahu, engkau sangat,
sangat, sangat mampu.
— Luar Bumi.
#darkesthour
Aku dan kamu sama-sama sudah lelah,
namun tak kunjung ingin pisah
Padahal rasa tak lagi utuh,
hanya kemudian mencipta keluh
Kita menyerah pada juang yang sebenarnya hanya membuat kita kian jenuh
Bagimu,
kisah ini hanya secuil dari proses kehidupan
Bagiku,
kisah semu ini hanya meramu sendu lalu akan berakhir curna
Afeksi tak lagi mengirim sinyal lembut mengantar dua raga pulang pada arah yang sama. Kini, jalan tak lagi seirama seumpama apa yang pernah bersama
Sadarkah kamu?
Berusaha bertahan padahal tak lagi ada yang bisa kita pertahankan, hanya akan semakin membuat rengat hati yang kian pudar hingga memar
—a.n
#tulisanmembiru
namun tak kunjung ingin pisah
Padahal rasa tak lagi utuh,
hanya kemudian mencipta keluh
Kita menyerah pada juang yang sebenarnya hanya membuat kita kian jenuh
Bagimu,
kisah ini hanya secuil dari proses kehidupan
Bagiku,
kisah semu ini hanya meramu sendu lalu akan berakhir curna
Afeksi tak lagi mengirim sinyal lembut mengantar dua raga pulang pada arah yang sama. Kini, jalan tak lagi seirama seumpama apa yang pernah bersama
Sadarkah kamu?
Berusaha bertahan padahal tak lagi ada yang bisa kita pertahankan, hanya akan semakin membuat rengat hati yang kian pudar hingga memar
—a.n
#tulisanmembiru
[Kata Adalah Kita]
Syair-syair yang randau
bagai peluk hangat
beberapa bunga di pangkal tanah
seperti sebiji doa yang memekar
kau semai dengan senyum tanpa tenun
hanyalah sebuah ketulusan sebuah air mata tanpa alasan
Tatkala pudar beberapa kiasan—tertinggal sebait puisi yang telanjang
seperti teduh bulan di langit merah tanpa penyesalan
semanis ucapanmu sepeluk dekap pertemuan
Kata-kata tak pernah menjadi siapa pun
hanyalah abjad-abjad penuh mantra
sebuah angan dan ingin
dalam reda dan dera yang redam
Kala kita mengucap hagia
sesederhana tangisan
mengalir hingga sembab
atau menerus dan memakna
menjadi hujan—atau badai sekalipun
Seperti katamu
tiada rupa paling purna
hanyalah karsa penelisik jawab
tiada perih paling lirih
hanyalah sepi dalam riuh diam-diam
Kita tak pernah pandai berkata-kata
hanyalah menjadi-jadi sebuah doa dalam mimpi
ketidakpastian yang terus diutarakan
Dalam ungkapan-ungkapan
bahkan rahasia segala umpatan
perihal dirimu dan diriku dalam bungkam bibir yang beku
Sediam ciumanmu
pada kata-kata
yang mati sebagai kita
dan kita menjelma angan-angan
suci dalam keterbatasan
Sedu sedih
tenang tentram
lirih dan lara
kata-kata tak lagi ada
ia menjelma kita
Jakarta Di Ujung Pena
— Rizky Adriansyah
Syair-syair yang randau
bagai peluk hangat
beberapa bunga di pangkal tanah
seperti sebiji doa yang memekar
kau semai dengan senyum tanpa tenun
hanyalah sebuah ketulusan sebuah air mata tanpa alasan
Tatkala pudar beberapa kiasan—tertinggal sebait puisi yang telanjang
seperti teduh bulan di langit merah tanpa penyesalan
semanis ucapanmu sepeluk dekap pertemuan
Kata-kata tak pernah menjadi siapa pun
hanyalah abjad-abjad penuh mantra
sebuah angan dan ingin
dalam reda dan dera yang redam
Kala kita mengucap hagia
sesederhana tangisan
mengalir hingga sembab
atau menerus dan memakna
menjadi hujan—atau badai sekalipun
Seperti katamu
tiada rupa paling purna
hanyalah karsa penelisik jawab
tiada perih paling lirih
hanyalah sepi dalam riuh diam-diam
Kita tak pernah pandai berkata-kata
hanyalah menjadi-jadi sebuah doa dalam mimpi
ketidakpastian yang terus diutarakan
Dalam ungkapan-ungkapan
bahkan rahasia segala umpatan
perihal dirimu dan diriku dalam bungkam bibir yang beku
Sediam ciumanmu
pada kata-kata
yang mati sebagai kita
dan kita menjelma angan-angan
suci dalam keterbatasan
Sedu sedih
tenang tentram
lirih dan lara
kata-kata tak lagi ada
ia menjelma kita
Jakarta Di Ujung Pena
— Rizky Adriansyah
Desember diam-diam merutuk kepala
lewat suara tembakan dekat pematang
sedang lelaki itu masih diam saja
matanya masih mengincar suara-suara
berlompatan dari balik tebu dan ilalang
maaf, maaf, maaf, dengarnya
ia hanya tersenyum dingin dan tertawa
seraya menatap angka dua puluh tujuh
bertengger di nyala korek api miliknya
kepuasan baginya adalah ketika nyala api
turut menyanyikan rekuiem bersama angin
dan seseorang terperangkap dalam kornya
lalu dengan senang hati ia menamparnya
dan berteriak keras-keras pada jasadnya,
sudahkah kaulupa?
ia lakukan pekerjaan ini lagi dan lagi
sampai abu jasadnya tiada
satu pekerjaan paling gila:
membunuh ingatan.
— Nozdormu, Perihal Melupakan.
#Nozdorevelation
lewat suara tembakan dekat pematang
sedang lelaki itu masih diam saja
matanya masih mengincar suara-suara
berlompatan dari balik tebu dan ilalang
maaf, maaf, maaf, dengarnya
ia hanya tersenyum dingin dan tertawa
seraya menatap angka dua puluh tujuh
bertengger di nyala korek api miliknya
kepuasan baginya adalah ketika nyala api
turut menyanyikan rekuiem bersama angin
dan seseorang terperangkap dalam kornya
lalu dengan senang hati ia menamparnya
dan berteriak keras-keras pada jasadnya,
sudahkah kaulupa?
ia lakukan pekerjaan ini lagi dan lagi
sampai abu jasadnya tiada
satu pekerjaan paling gila:
membunuh ingatan.
— Nozdormu, Perihal Melupakan.
#Nozdorevelation
Jumpai aku saat sukamu bukan lagi bersuaka dalam ilusi.
Jumpai aku saat pilu tidak lagi jadi urusanmu.
Jumpai aku saat lelahmu bukan lagi masalah patah.
Jumpai aku saat tawamu bukan tentang semu dan sendu.
Jumpai aku saat kamu, sepenuhnya kamu.
Jumpai aku ya, jelita, perkasa?
─ deep-laid
Bagaimana bahagia berbisik supaya semuanya pulang.
#SejawatMahitala
Jumpai aku saat pilu tidak lagi jadi urusanmu.
Jumpai aku saat lelahmu bukan lagi masalah patah.
Jumpai aku saat tawamu bukan tentang semu dan sendu.
Jumpai aku saat kamu, sepenuhnya kamu.
Jumpai aku ya, jelita, perkasa?
─ deep-laid
Bagaimana bahagia berbisik supaya semuanya pulang.
#SejawatMahitala
Aku rela jadi buta sekalipun asal aku tak pernah melihat wajahmu itu lagi. Karena tiap detik saat mataku tertuju padamu adalah tiap saat hatiku hancur menjadi abu. Lebur aku dalam api, hancur aku menjadi debu.
Aku rela tidak bisa mendengar apapun selamanya asal aku tak pernah mendengar suaramu. Karena tiap kali nadanya memasuki ruang telinga, saat itu juga aku mulai membenci keadaan dimana semuanya tak lagi sama. Pada saat itu aku lebih nyaman jika hening saja.
Aku rela untuk tidak pernah bernafas selama-lamanya asal aku tidak pernah lagi mengetahui keberadaanmu. Karena selama aku hidup, selama aku bernyawa, selama aku masih di bumi, sang mentari kan tetap menyinari dan bulan tetap menemani. Selayaknya memori yang tak akan beranjak pergi.
Sungguh jikalau aku bisa mengulang waktu, aku akan mengulang ke hari pertama kali kita bertemu. Nantinya aku saat itu akan pergi melaju, meninggalkanmu terlebih dahulu, tak pernah menuliskan kisah pada relung kehidupan. Karena aku telah tahu bahwasanya nanti kita akan berpisah.
Jika tahu pada akhirnya jadi begini, lebih baik sedari awal aku pergi. Tak pernah jatuh hati, tak pernah mengenal patah hati, tak pernah merasa sakit yang tak terobati, dan tak perlu bingung mau dikemanakan kepingan kenangan ini. Aku rela dan sanggup mencintaimu dalam diam. Tak terurai lewat kata maupun tindakan, cukup dalam hati saja.
Aku mencintaimu terlalu dalam pada kali pertama, dimana saat itu aku belum berpengalaman dengan patah hati. Jadi, sekalinya aku kenal cinta malah trauma yang terekam. Semuanya nyata, tak terhindari, dan berakhir pada luka.
ー Detra
#detrathoughts
Aku rela tidak bisa mendengar apapun selamanya asal aku tak pernah mendengar suaramu. Karena tiap kali nadanya memasuki ruang telinga, saat itu juga aku mulai membenci keadaan dimana semuanya tak lagi sama. Pada saat itu aku lebih nyaman jika hening saja.
Aku rela untuk tidak pernah bernafas selama-lamanya asal aku tidak pernah lagi mengetahui keberadaanmu. Karena selama aku hidup, selama aku bernyawa, selama aku masih di bumi, sang mentari kan tetap menyinari dan bulan tetap menemani. Selayaknya memori yang tak akan beranjak pergi.
Sungguh jikalau aku bisa mengulang waktu, aku akan mengulang ke hari pertama kali kita bertemu. Nantinya aku saat itu akan pergi melaju, meninggalkanmu terlebih dahulu, tak pernah menuliskan kisah pada relung kehidupan. Karena aku telah tahu bahwasanya nanti kita akan berpisah.
Jika tahu pada akhirnya jadi begini, lebih baik sedari awal aku pergi. Tak pernah jatuh hati, tak pernah mengenal patah hati, tak pernah merasa sakit yang tak terobati, dan tak perlu bingung mau dikemanakan kepingan kenangan ini. Aku rela dan sanggup mencintaimu dalam diam. Tak terurai lewat kata maupun tindakan, cukup dalam hati saja.
Aku mencintaimu terlalu dalam pada kali pertama, dimana saat itu aku belum berpengalaman dengan patah hati. Jadi, sekalinya aku kenal cinta malah trauma yang terekam. Semuanya nyata, tak terhindari, dan berakhir pada luka.
ー Detra
#detrathoughts
Dari beribu kemungkinan di galaksi untuk mengagumi, aku orangnya sukar untuk memberi hati.
Anakan kelinci bisa dicinta, tapi manusia hanya layak sampai mata.
Ditatap lama, biasa saja, pun dielus kepala tak kenapa-kenapa, terserah!
Namun akhir pekan kemarin, aku mulai dibuat luar biasa resah. Ada yang berbeda dari aliran darah.
Sebab sejak bertemu denganmu, jatuh cinta jadi begitu mudah.
— Nabilah Azhar.
#sajakrasacokelat
Anakan kelinci bisa dicinta, tapi manusia hanya layak sampai mata.
Ditatap lama, biasa saja, pun dielus kepala tak kenapa-kenapa, terserah!
Namun akhir pekan kemarin, aku mulai dibuat luar biasa resah. Ada yang berbeda dari aliran darah.
Sebab sejak bertemu denganmu, jatuh cinta jadi begitu mudah.
— Nabilah Azhar.
#sajakrasacokelat
Bila kelak hatimu berlabuh pada ia yang bukan aku,
sampaikan padanya mimpi-mimpi kita yang bertanya tapi tak bisa berbuat apa-apa.
Tentang kita yang pernah berusaha dan berdoa bersama.
Tentang perbedaan dan keadaan yang tak terbantahkan.
Tentang aku yang tak mampu menjadi tempat berlabuh terbaikmu.
Sampaikan maafku,
doaku, dan cintaku,
padanya yang bukan aku,
agar ia jaga dirimu sepenuh hati
seperti aku yang terus genggam bayanganmu di pelupuk mimpi.
sampaikan padanya mimpi-mimpi kita yang bertanya tapi tak bisa berbuat apa-apa.
Tentang kita yang pernah berusaha dan berdoa bersama.
Tentang perbedaan dan keadaan yang tak terbantahkan.
Tentang aku yang tak mampu menjadi tempat berlabuh terbaikmu.
Sampaikan maafku,
doaku, dan cintaku,
padanya yang bukan aku,
agar ia jaga dirimu sepenuh hati
seperti aku yang terus genggam bayanganmu di pelupuk mimpi.
[Abstraksi Hati]
aku ingin mencintaimu biasa-biasa saja,
aku tak ingin jatuh terlalu dalam.
jujur aku takut kau akan pergi begitu saja,
meninggalkanku bersama memori kelam.
mencintaimu bagai memeluk batang kaktus,
semakin aku memelukmu semakin perih yang kurasa.
aku takut semua harapanku padamu pupus,
aku takut ternyata semua ini hanya aku yang merasa.
beribu pesan telah kusampaikan,
tetapi tak satupun terbalaskan.
berpuluh dering tak terjawab,
masih pantaskah aku berharap rasa ini akan terjawab?
kalau kau mampir hanya untuk menancapkan duri,
aku rela tertancap beribu duri asal itu darimu.
kiranya memang aku yang tak tahu diri,
selalu berpikir bahwa hati kita sudah bertemu.
detik demi detik telah kulalui,
halang rintang sudah kulewati.
mencitaimu bagaikan dibui,
raga hidup terasa mati.
waktu bagai kereta yang melaju cepat,
sama halnya dengan sambaran kilat.
kini kau sadar bahwa aku bukanlah pribadi yang tepat,
kini kita begitu dingin padahal sebelumnya kita begitu hangat.
langit menangis,
buah membusuk.
hati menangis,
dada tertusuk.
hujan membuat malam semakin sendu,
bagimu aku adalah angin lalu.
hobiku kini menanam rindu,
hasilnya menuai pilu.
—yourmate.
#youronlymate
18:56
aku ingin mencintaimu biasa-biasa saja,
aku tak ingin jatuh terlalu dalam.
jujur aku takut kau akan pergi begitu saja,
meninggalkanku bersama memori kelam.
mencintaimu bagai memeluk batang kaktus,
semakin aku memelukmu semakin perih yang kurasa.
aku takut semua harapanku padamu pupus,
aku takut ternyata semua ini hanya aku yang merasa.
beribu pesan telah kusampaikan,
tetapi tak satupun terbalaskan.
berpuluh dering tak terjawab,
masih pantaskah aku berharap rasa ini akan terjawab?
kalau kau mampir hanya untuk menancapkan duri,
aku rela tertancap beribu duri asal itu darimu.
kiranya memang aku yang tak tahu diri,
selalu berpikir bahwa hati kita sudah bertemu.
detik demi detik telah kulalui,
halang rintang sudah kulewati.
mencitaimu bagaikan dibui,
raga hidup terasa mati.
waktu bagai kereta yang melaju cepat,
sama halnya dengan sambaran kilat.
kini kau sadar bahwa aku bukanlah pribadi yang tepat,
kini kita begitu dingin padahal sebelumnya kita begitu hangat.
langit menangis,
buah membusuk.
hati menangis,
dada tertusuk.
hujan membuat malam semakin sendu,
bagimu aku adalah angin lalu.
hobiku kini menanam rindu,
hasilnya menuai pilu.
—yourmate.
#youronlymate
18:56
Selasa, 22 Oktober 2019
Kau adalah akar dari segala kemungkinan
Kau dan semesta bersekongkol dalam menciptakan konspirasi yang jenaka
Yang seringkali membuatku menggelengkan kepala
Tak jarang aku dibuat dulu hancur dan koyak
Sebelum akhirnya menengadah malu saat melihat semua rentetan kejadian yang kau persembahkan,
Melukiskan konstelasi paradigma yang begitu menawan.
Kau adalah fisika termegah yang aku selami;
Lebih agung dari kucing Schrödinger, prisma Newton, maupun relativitas Einstein,
Pemikiran tersulit yang tak terjamah oleh Socrates dan Aristoteles,
Seni tinggi yang tak pernah dilihat dan dirasa oleh Shakespeare, van Gogh, ataupun Mozart.
Kau, sumber dari segala yang menggerakkan rotasi duniaku.
Sampaikan pada Sang Pemberi Kemungkinan,
Bahwa kau adalah mukjizat terindah yang aku imani.
Aku sering tersipu malu saat Dia mengejekku
Dengan semua caraNya mengabulkan doaku.
— FilosofiKosmik
Kau dan semesta bersekongkol dalam menciptakan konspirasi yang jenaka
Yang seringkali membuatku menggelengkan kepala
Tak jarang aku dibuat dulu hancur dan koyak
Sebelum akhirnya menengadah malu saat melihat semua rentetan kejadian yang kau persembahkan,
Melukiskan konstelasi paradigma yang begitu menawan.
Kau adalah fisika termegah yang aku selami;
Lebih agung dari kucing Schrödinger, prisma Newton, maupun relativitas Einstein,
Pemikiran tersulit yang tak terjamah oleh Socrates dan Aristoteles,
Seni tinggi yang tak pernah dilihat dan dirasa oleh Shakespeare, van Gogh, ataupun Mozart.
Kau, sumber dari segala yang menggerakkan rotasi duniaku.
Sampaikan pada Sang Pemberi Kemungkinan,
Bahwa kau adalah mukjizat terindah yang aku imani.
Aku sering tersipu malu saat Dia mengejekku
Dengan semua caraNya mengabulkan doaku.
— FilosofiKosmik
Seseorang itu, kamu.
Pada bait-bait sajak yang
kutulis di atas kayu-kayu
usang, ada seseorang
hidup di antara diksinya.
Bernapas dalam kata yang
tertuang bersama hujan
yang mengalir deras di pipiku.
Ia bungkam seiring rinduku
yang tak pernah andam karam,
bahkan meski daun-daun telah
gugur; rinduku takkan luntur.
Pada bait-bait sajak yang
kutulis di atas kayu-kayu
usang, ada seseorang
hidup di antara diksinya.
Seseorang itu, kamu.
– gadispenikmatsenja
#sajakhampabersamasenja
Pada bait-bait sajak yang
kutulis di atas kayu-kayu
usang, ada seseorang
hidup di antara diksinya.
Bernapas dalam kata yang
tertuang bersama hujan
yang mengalir deras di pipiku.
Ia bungkam seiring rinduku
yang tak pernah andam karam,
bahkan meski daun-daun telah
gugur; rinduku takkan luntur.
Pada bait-bait sajak yang
kutulis di atas kayu-kayu
usang, ada seseorang
hidup di antara diksinya.
Seseorang itu, kamu.
– gadispenikmatsenja
#sajakhampabersamasenja
nanti, di masa depan, kuajak kau bertemu kembali. dengan sikap yang sama dewasanya, saling sapa tanpa membiarkan luka lama tertoreh kembali.
nanti, di masa depan, kuajak kau bertemu kembali. berbincang tentang apa-apa yang kulalui tanpa kau, pun yang kaulalui tanpa aku. tanpa dendam, tanpa tangis.
nanti, di masa depan, kuajak kau bertemu kembali. berbagi perihal betapa bahagianya aku berada di titik tersebut, pun posisi di mana dirimu berada. tanpa sedikit pun penyesalan.
nanti, di masa depan, kuajak kau bertemu kembali. menyesap kopi panas di kedai kesukaan kita sembari mendengarkan lagu-lagu yang mengingatkan kita tentang romansa semasa dahulu, tanpa sedikit pun rasa ingin kembali.
nanti, di masa depan, kuajak kau bertemu kembali. bukan tanpa tujuan. aku hanya ingin memberimu sepucuk undangan. semoga kau hadir. di situ, akan kaulihat betapa bahagianya aku selepas kautinggal. tak akan kautemui sedikit pun ragu pada bola mataku. tak akan pernah kaujumpai sesal pada kedua manik mataku.
nanti, di masa depan, kuajak kau bertemu kembali. akan kuucapkan terima kasih, sebab luka yang pernah kauberi cukup untukku mendewasakan diri.
— alphalyra,
#kataalphalyra
nanti, di masa depan, kuajak kau bertemu kembali. berbincang tentang apa-apa yang kulalui tanpa kau, pun yang kaulalui tanpa aku. tanpa dendam, tanpa tangis.
nanti, di masa depan, kuajak kau bertemu kembali. berbagi perihal betapa bahagianya aku berada di titik tersebut, pun posisi di mana dirimu berada. tanpa sedikit pun penyesalan.
nanti, di masa depan, kuajak kau bertemu kembali. menyesap kopi panas di kedai kesukaan kita sembari mendengarkan lagu-lagu yang mengingatkan kita tentang romansa semasa dahulu, tanpa sedikit pun rasa ingin kembali.
nanti, di masa depan, kuajak kau bertemu kembali. bukan tanpa tujuan. aku hanya ingin memberimu sepucuk undangan. semoga kau hadir. di situ, akan kaulihat betapa bahagianya aku selepas kautinggal. tak akan kautemui sedikit pun ragu pada bola mataku. tak akan pernah kaujumpai sesal pada kedua manik mataku.
nanti, di masa depan, kuajak kau bertemu kembali. akan kuucapkan terima kasih, sebab luka yang pernah kauberi cukup untukku mendewasakan diri.
— alphalyra,
#kataalphalyra
Kamu datang dengan segala sebab dari euforia dalam hidupku yang satu-satunya
Aku terima dengan dasar tulusku yang sudah jauh sekali terkubur dalam-dalam dan tak pernah kuberikan
Kamu terus menyemai rasa setuju dalam hatiku untuk mengiakan keputusannya agar memberi ruang untuk ditempati
Aku perlahan-lahan, lama kelamaan hingga dengan senang merasakan jantung hatiku berpusat padamu
Namun, tiba-tiba kamu pergi dengan alasan yang tidak kuketahui pasti
Yang pasti, hanyalah kamu yang tidak lagi mengisi serbuan kupu-kupu dalam setiap lamunanku
Tapi ternyata cuma sementara,
Tak berapa lama kamu kembali
Kamu tak lagi ragu, katamu kali ini kamu serius
Aku menyadari kalau berarti awalnya, yakinmu memang tidak penuh padaku
Tidak apa-apa, aku membuka lebar-lebar penerimaan dari seluruh seriusmu itu
Di suatu titik pada garis waktu, aku bersyukur sebegitu hebat karena telah sempat didampingi manusia penuh kasih sepertimu
Semuanya kemudian mulai menjadi tentang "kita"
Aku percaya kalau semesta selalu punya kejutan dibalik kehadiranmu
Dan aku percaya kalau kejutan itu adalah dengan kamu yang akan ada di sisiku
Tidak yang lain lagi.
Lalu tanpa pernah kusangka, kali ini kamu benar-benar pergi. Sungguhan sirna dari seluruh ruang yang pernah kamu temui dalam diriku.
Aku yakin kamu tidak akan kembali seperti yang dulu-dulu sebab kamu tidak diam-diam menghilang
Kamu mohon permisi untuk coba membuatku mengerti kalau cocok tidak menjadi alasan kita dipertemukan
Yang kurasakan setelahnya, bertubi-tubi
Pahit ketika aku bisa-bisanya dengan lapang menerima kamu yang bolak-balik dengan keraguan
Perih ketika aku dengan segenap sadar mengetahui kalau yang terakhir kali kamu benar-benar meninggalkan dan tidak akan kembali lagi
Penat ketika aku harus ditimpa rasa kecewa yang secampur aduk ini
Sedihku ketika denganmu banyak
Tangisku ketika denganmu tak kalah banyak
Tapi, bahagiaku ketika denganmu juga tak akan pernah bisa lenyap.
Di suatu titik pada garis waktu pun, aku pada akhirnya mengakui kalau aku tidak menyesal telah menyambut dan mengikhlaskan hadirmu yang berulang kali datang dan pergi.
— deep-laid
#SejawatMahitala
Aku terima dengan dasar tulusku yang sudah jauh sekali terkubur dalam-dalam dan tak pernah kuberikan
Kamu terus menyemai rasa setuju dalam hatiku untuk mengiakan keputusannya agar memberi ruang untuk ditempati
Aku perlahan-lahan, lama kelamaan hingga dengan senang merasakan jantung hatiku berpusat padamu
Namun, tiba-tiba kamu pergi dengan alasan yang tidak kuketahui pasti
Yang pasti, hanyalah kamu yang tidak lagi mengisi serbuan kupu-kupu dalam setiap lamunanku
Tapi ternyata cuma sementara,
Tak berapa lama kamu kembali
Kamu tak lagi ragu, katamu kali ini kamu serius
Aku menyadari kalau berarti awalnya, yakinmu memang tidak penuh padaku
Tidak apa-apa, aku membuka lebar-lebar penerimaan dari seluruh seriusmu itu
Di suatu titik pada garis waktu, aku bersyukur sebegitu hebat karena telah sempat didampingi manusia penuh kasih sepertimu
Semuanya kemudian mulai menjadi tentang "kita"
Aku percaya kalau semesta selalu punya kejutan dibalik kehadiranmu
Dan aku percaya kalau kejutan itu adalah dengan kamu yang akan ada di sisiku
Tidak yang lain lagi.
Lalu tanpa pernah kusangka, kali ini kamu benar-benar pergi. Sungguhan sirna dari seluruh ruang yang pernah kamu temui dalam diriku.
Aku yakin kamu tidak akan kembali seperti yang dulu-dulu sebab kamu tidak diam-diam menghilang
Kamu mohon permisi untuk coba membuatku mengerti kalau cocok tidak menjadi alasan kita dipertemukan
Yang kurasakan setelahnya, bertubi-tubi
Pahit ketika aku bisa-bisanya dengan lapang menerima kamu yang bolak-balik dengan keraguan
Perih ketika aku dengan segenap sadar mengetahui kalau yang terakhir kali kamu benar-benar meninggalkan dan tidak akan kembali lagi
Penat ketika aku harus ditimpa rasa kecewa yang secampur aduk ini
Sedihku ketika denganmu banyak
Tangisku ketika denganmu tak kalah banyak
Tapi, bahagiaku ketika denganmu juga tak akan pernah bisa lenyap.
Di suatu titik pada garis waktu pun, aku pada akhirnya mengakui kalau aku tidak menyesal telah menyambut dan mengikhlaskan hadirmu yang berulang kali datang dan pergi.
— deep-laid
#SejawatMahitala
Suatu sore pada minggu di waktu yang lalu seseorang mengajakku ke pasar malam
Dia juga tidak lupa membelikan harum manis berwarna biru
Kenangan termanis yang aku punya
Menikmati langit keunguan sembari melayang bersama komidi putar
Kalau dipikir-pikir lagi, sebenarnya aku bingung, bingung sekali.
Kenapa kamu mengajakku naik ya?
Kalau harum manis yang semanis hangat dan sayangmu itu? Maksudnya apa?
Aku kira kamu tulus sungguhan
Tapi...
Selama komidi putarnya bergerak, seraya mengenyahkan harum manis ke dalam tutur kata kita
Ceritamu berpusat pada satu tokoh saja
Kamu terus berbicara tentang bianglala
Kamu memuji eloknya, kamu merasakan keajaiban saat melihatnya
Kamu bilang, bianglala yang hanya bisa kamu pandang itu selalu memberi rasa nyaman untukmu
Awalnya kukira, bianglala memang istimewa untuk semua orang
Bianglala memang seadiwarna yang kukenal
Tapi, bianglala menjadi titik tenggelammu akan masa kini
Aku tidak lelah mendengarkan kok, tapi aku bingung, apakah kamu sadar?
Kalau aku sejak lama sudah ada disampingmu, dan ceritamu hanya tentang bianglala yang ada di depan mata kita, yang jauh dari gapaian kita.
Lalu bianglalanya pergi seraya kegelapan datang.
Harum manis yang semanis hangat dan sayangmu pun habis.
Tapi kamu tidak mau turun
Kamu mau aku saja yang turun
Dan aku turuti apa yang nyamanmu mau
Sore hari pada minggu selanjutnya, kamu mendatangiku
Kamu bilang bianglala indah itu digantikan awan kelabu
Kamu diselimuti bimbang, dan kamu terlintas untuk mengajakku pergi
Tujuanmu tak jauh-jauh dari komidi putar dengan dua buah harum manis biru
Kali ini rasanya semesta sedang melekat dalam sukmaku
Awan kelabu semakin marak dengan petir yang menyambar
Aku beritahu rahasianya, ributnya langit hari itu selaras dengan hancur remuknya sejagat hatiku
Iya, aku lelah menjadi teman ceritamu tentang bianglala
Iya, aku tahu kamu juga bingung kenapa bianglala selalu jadi pusat pikiran otakmu
Jiwa kita tidak berada di satu tempat yang sama
Kita sama-sama lelah, ya?
Hujan turun seraya alasan perpisahan kita jelas merambah menuju kenyataan
Aku beritahu rahasianya, derasnya rintihan hujan selaras dengan rasa sedih bercampur kecewaku
Kamu menyuruhku berjanji untuk tidak mendatangi pasar malam, komidi putar, bianglala di indahnya langit ungu, atau apapun tentangmu
Katamu itu yang terbaik untukku
Tapi,
Aku tidak bisa janji.
Maaf ya, aku sudah telanjur mencintai harum manis biru semanis hangat dan sayangmu
Aku sudah telanjur mencintai komidi putar dan semua tutur katamu, ceritamu, tentangmu.
Nanti,
Aku pasti sewaktu-waktu berkunjung ke pasar malam, menaiki komidi putar dengan harum manis biru di genggaman
Melihatmu yang tenggelam dalam pencarianmu pada bianglala di langit ungu istimewa itu
Dan, bahagia pasti menyertaiku.
Aku cuma bisa janji kalau aku pasti bahagia dengan segala alasan bahagiamu.
— deep-laid
#SejawatMahitala
21:20
Dia juga tidak lupa membelikan harum manis berwarna biru
Kenangan termanis yang aku punya
Menikmati langit keunguan sembari melayang bersama komidi putar
Kalau dipikir-pikir lagi, sebenarnya aku bingung, bingung sekali.
Kenapa kamu mengajakku naik ya?
Kalau harum manis yang semanis hangat dan sayangmu itu? Maksudnya apa?
Aku kira kamu tulus sungguhan
Tapi...
Selama komidi putarnya bergerak, seraya mengenyahkan harum manis ke dalam tutur kata kita
Ceritamu berpusat pada satu tokoh saja
Kamu terus berbicara tentang bianglala
Kamu memuji eloknya, kamu merasakan keajaiban saat melihatnya
Kamu bilang, bianglala yang hanya bisa kamu pandang itu selalu memberi rasa nyaman untukmu
Awalnya kukira, bianglala memang istimewa untuk semua orang
Bianglala memang seadiwarna yang kukenal
Tapi, bianglala menjadi titik tenggelammu akan masa kini
Aku tidak lelah mendengarkan kok, tapi aku bingung, apakah kamu sadar?
Kalau aku sejak lama sudah ada disampingmu, dan ceritamu hanya tentang bianglala yang ada di depan mata kita, yang jauh dari gapaian kita.
Lalu bianglalanya pergi seraya kegelapan datang.
Harum manis yang semanis hangat dan sayangmu pun habis.
Tapi kamu tidak mau turun
Kamu mau aku saja yang turun
Dan aku turuti apa yang nyamanmu mau
Sore hari pada minggu selanjutnya, kamu mendatangiku
Kamu bilang bianglala indah itu digantikan awan kelabu
Kamu diselimuti bimbang, dan kamu terlintas untuk mengajakku pergi
Tujuanmu tak jauh-jauh dari komidi putar dengan dua buah harum manis biru
Kali ini rasanya semesta sedang melekat dalam sukmaku
Awan kelabu semakin marak dengan petir yang menyambar
Aku beritahu rahasianya, ributnya langit hari itu selaras dengan hancur remuknya sejagat hatiku
Iya, aku lelah menjadi teman ceritamu tentang bianglala
Iya, aku tahu kamu juga bingung kenapa bianglala selalu jadi pusat pikiran otakmu
Jiwa kita tidak berada di satu tempat yang sama
Kita sama-sama lelah, ya?
Hujan turun seraya alasan perpisahan kita jelas merambah menuju kenyataan
Aku beritahu rahasianya, derasnya rintihan hujan selaras dengan rasa sedih bercampur kecewaku
Kamu menyuruhku berjanji untuk tidak mendatangi pasar malam, komidi putar, bianglala di indahnya langit ungu, atau apapun tentangmu
Katamu itu yang terbaik untukku
Tapi,
Aku tidak bisa janji.
Maaf ya, aku sudah telanjur mencintai harum manis biru semanis hangat dan sayangmu
Aku sudah telanjur mencintai komidi putar dan semua tutur katamu, ceritamu, tentangmu.
Nanti,
Aku pasti sewaktu-waktu berkunjung ke pasar malam, menaiki komidi putar dengan harum manis biru di genggaman
Melihatmu yang tenggelam dalam pencarianmu pada bianglala di langit ungu istimewa itu
Dan, bahagia pasti menyertaiku.
Aku cuma bisa janji kalau aku pasti bahagia dengan segala alasan bahagiamu.
— deep-laid
#SejawatMahitala
21:20
[Kesendirianku]
Kau hilang mengutuk ungkapanku,
menganyam waktu, yang lengang itu
menjadi kenangan buruk
menjelma sendiri, melarikan tangisan-tangisan
Tak apa, jika bukan diriku
tapi, jangan hentikan aku untuk menjadi temanmu
aku rindu, bulan
aku rindu, hujan
Kau tak tau, tentang malamku sekarang
bahkan tak pernah mengerti tulisanku,
jika kubilang puisi ini, penuh air mata
mana mungkin kau percaya itu,
Karena kau telah hilang,
bahkan aku tak bisa mencarimu
bagaimana bisa, diriku pun tengah mencari kesepianku sendiri
Sampai kapan, sampai nanti hujan mengatakan kerinduanku, kau tak akan mendengarnya
ada cerita lain di sana, di relung terdalammu
maafkan aku, maaf aku mengganggu
Di tepi waktu ini,
hari-hari menutup lukaku,
aku hilang arah, tak kukenali lagi raut wajahmu
ingin sekali kurapalkan perasaanku, terhadapmu
Tapi yang kudapat dari kejujuran,
adalah ketiadaanmu
tak apa, bagiku waktu lebih mengerti
aku masih punya kesedihanku sendiri
— Rizky Adriansyah, Jakarta Di Ujung Pena
Kau hilang mengutuk ungkapanku,
menganyam waktu, yang lengang itu
menjadi kenangan buruk
menjelma sendiri, melarikan tangisan-tangisan
Tak apa, jika bukan diriku
tapi, jangan hentikan aku untuk menjadi temanmu
aku rindu, bulan
aku rindu, hujan
Kau tak tau, tentang malamku sekarang
bahkan tak pernah mengerti tulisanku,
jika kubilang puisi ini, penuh air mata
mana mungkin kau percaya itu,
Karena kau telah hilang,
bahkan aku tak bisa mencarimu
bagaimana bisa, diriku pun tengah mencari kesepianku sendiri
Sampai kapan, sampai nanti hujan mengatakan kerinduanku, kau tak akan mendengarnya
ada cerita lain di sana, di relung terdalammu
maafkan aku, maaf aku mengganggu
Di tepi waktu ini,
hari-hari menutup lukaku,
aku hilang arah, tak kukenali lagi raut wajahmu
ingin sekali kurapalkan perasaanku, terhadapmu
Tapi yang kudapat dari kejujuran,
adalah ketiadaanmu
tak apa, bagiku waktu lebih mengerti
aku masih punya kesedihanku sendiri
— Rizky Adriansyah, Jakarta Di Ujung Pena
[Hujan, Kau Sedih]
Dan waktu, bagiku hanya hitungan
dalam deru, yang reda dalam rongga dadamu
aku hanyalah gemericik, yang sesekali menengokmu dalam kesepian,
aku hanyalah temanmu, di sela hujan-hujan ini
Sebagai cerita-cerita
bukan cuma sekedar tenang, kaudapatkan aku kembali, pada siluet yang hujan buat
dingin itu, mungkin sesekali memelukmu
dalam aku yang memelik, kehilangan hangatnya
Hujan ini, seperti raut birumu
seperti diam bibir dan benam matamu,
kaurasakan wangi hujan itu, apa sama?
seperti saat kemarin, di sela selasar jalan
di rumahmu, di arah pulangmu, atau di tengah malam
Seakan-akan hujan sedang sedih,
tahu segala tempat, tentangmu merenung
dan saat ini, mungkin kau sedang cemas
tapi tak serisau aku, aku titip dirimu padanya
jangan salahkan aku, jika hujan merindukanmu
Di tempat itu
di segala tempat, yang pernah ada aku di dalamnya
Jakarta Di Ujung Pena
— Rizky Adriansyah
Dan waktu, bagiku hanya hitungan
dalam deru, yang reda dalam rongga dadamu
aku hanyalah gemericik, yang sesekali menengokmu dalam kesepian,
aku hanyalah temanmu, di sela hujan-hujan ini
Sebagai cerita-cerita
bukan cuma sekedar tenang, kaudapatkan aku kembali, pada siluet yang hujan buat
dingin itu, mungkin sesekali memelukmu
dalam aku yang memelik, kehilangan hangatnya
Hujan ini, seperti raut birumu
seperti diam bibir dan benam matamu,
kaurasakan wangi hujan itu, apa sama?
seperti saat kemarin, di sela selasar jalan
di rumahmu, di arah pulangmu, atau di tengah malam
Seakan-akan hujan sedang sedih,
tahu segala tempat, tentangmu merenung
dan saat ini, mungkin kau sedang cemas
tapi tak serisau aku, aku titip dirimu padanya
jangan salahkan aku, jika hujan merindukanmu
Di tempat itu
di segala tempat, yang pernah ada aku di dalamnya
Jakarta Di Ujung Pena
— Rizky Adriansyah
[Menelisik Tarkovsky]
Aku memimpikan diriku menjadi tiap-tiap bait puisi; metafora, semiotika, dan alegori bercinta,
melahirkan elegi maupun soneta yang meluluh lantahkan segala rasa.
Kau menerka puisi seperti gadis kecil yang memeluk ibunya dengan penuh kerinduan; kemudian kau membuatku nelangsa,
kau adalah bagian puisiku yang hilang. Aku melihat jiwa kebebasanmu bercumbu pada dinding kesepian yang merajam ruh dan asa.
Aku merebahkan diri sembari menunggu dirimu hingga pada bagian terakhir puisi ini.
Karena aku lelah telah mencarimu di setiap tempat, lorong, hingga sudut—dan kau tetap tak ada di sana.
Tetapi, aku percaya bahwa kau ada—kau zahir pada jejak peristiwa kita.
Kaulah nostalgia yang menggantung pada cermin; memantulkan batas bayangan antara kenangan dan realita.
— Mega
#BlueVincent
Aku memimpikan diriku menjadi tiap-tiap bait puisi; metafora, semiotika, dan alegori bercinta,
melahirkan elegi maupun soneta yang meluluh lantahkan segala rasa.
Kau menerka puisi seperti gadis kecil yang memeluk ibunya dengan penuh kerinduan; kemudian kau membuatku nelangsa,
kau adalah bagian puisiku yang hilang. Aku melihat jiwa kebebasanmu bercumbu pada dinding kesepian yang merajam ruh dan asa.
Aku merebahkan diri sembari menunggu dirimu hingga pada bagian terakhir puisi ini.
Karena aku lelah telah mencarimu di setiap tempat, lorong, hingga sudut—dan kau tetap tak ada di sana.
Tetapi, aku percaya bahwa kau ada—kau zahir pada jejak peristiwa kita.
Kaulah nostalgia yang menggantung pada cermin; memantulkan batas bayangan antara kenangan dan realita.
— Mega
#BlueVincent
terakhir kali kita berbincang,
tak ada jawaban engkau beri
jauh lebih patah,
dari sebuah ucapan penolakan
aku tak pernah tahu apapun
yang ada di benakmu;
tentang aku,
tentang usahaku,
tentang cerita kemarin
—atau tak pernah ada cerita?
hari ini kulihat raut bahagiamu
tawa lepasmu saat berkencan dengannya
tak pernah lagi aku tahu kabarmu
karena kau tak izinkan aku,
bahkan untuk sekadar menyapamu
hari ini kumembiru
mendekap pilu
tak ada senyum semanis dirimu
di bawah atap gedung biru
—wipp,
terinspirasi dari lagu Kunto Aji - Pilu Membiru
#wippline #Harmonidalam30Hari #HarmoniHariKedua
tak ada jawaban engkau beri
jauh lebih patah,
dari sebuah ucapan penolakan
aku tak pernah tahu apapun
yang ada di benakmu;
tentang aku,
tentang usahaku,
tentang cerita kemarin
—atau tak pernah ada cerita?
hari ini kulihat raut bahagiamu
tawa lepasmu saat berkencan dengannya
tak pernah lagi aku tahu kabarmu
karena kau tak izinkan aku,
bahkan untuk sekadar menyapamu
hari ini kumembiru
mendekap pilu
tak ada senyum semanis dirimu
di bawah atap gedung biru
—wipp,
terinspirasi dari lagu Kunto Aji - Pilu Membiru
#wippline #Harmonidalam30Hari #HarmoniHariKedua
Padamu aku teringat biru. Ruang percakapan yang perlahan berdebu, kenangan lama yang meninggalkan rasa kelabu, rintik hujan membawa sendu, secangkir teh hangat membawa pilu, dan lagu lama yang mengingatkan padamu.
Padamu aku teringat merah. Rasa ego yang memupuk amarah, bagaimana caraku membenarkan kerah bajumu, senja di sore hari yang merekah, pergelangan tangan penuh darah, dan cintaku yang tak pernah menyerah.
Padamu aku teringat hitam. Bersama bulan meninggalkan kelam, obrolan singkat tengah malam, menyelam mencari perasaan yang tenggelam, berlarian bersama gelap di heningnya diam, sendirian berlingkupi perasaan yang terpendam.
Padamu aku teringat coklat. Perihal hubungan yang telah tamat, hari-hari yang berlalu dengan begitu cepat, mata yang berlukiskan rasa tersesat, relung hati yang terasa sakit, dan jarak antara kita yang tidak dekat.
Padamu aku belajar melihat dunia dalam berbagai warna.
Padamu aku ingat kamu.
ー Detra
#detrathoughts
Padamu aku teringat merah. Rasa ego yang memupuk amarah, bagaimana caraku membenarkan kerah bajumu, senja di sore hari yang merekah, pergelangan tangan penuh darah, dan cintaku yang tak pernah menyerah.
Padamu aku teringat hitam. Bersama bulan meninggalkan kelam, obrolan singkat tengah malam, menyelam mencari perasaan yang tenggelam, berlarian bersama gelap di heningnya diam, sendirian berlingkupi perasaan yang terpendam.
Padamu aku teringat coklat. Perihal hubungan yang telah tamat, hari-hari yang berlalu dengan begitu cepat, mata yang berlukiskan rasa tersesat, relung hati yang terasa sakit, dan jarak antara kita yang tidak dekat.
Padamu aku belajar melihat dunia dalam berbagai warna.
Padamu aku ingat kamu.
ー Detra
#detrathoughts
Tuhan kedua
Sembahyang bagi atensi masa
Tempat berbelanja pasar karya
Bersembunyi dalam bilik gawai penuh warna
Di mana viewers menjadi segala.
Tuhan kedua
Ajang lomba gengsi manusia
Foto tak lagi menjadi tempat mengabadikan momentum yang ada
Tapi sarana unjuk rasa, tak mau kalah dengan manusia lainnya.
Tuhan kedua
Disembah tiada tara
Menghalalkan segala cara demi mendapat perhatian masa
Literasi kebohongan menjadi cuap ketergantungan manusia.
Tuhan kedua
Tempat bersaing berjeruji layar
Berlomba siapa yang paling hebat dalam bergelar
Sebab iri dan dengki yang menyelimuti debar.
Tuhan kedua
Penentu harga diri manusia
Kesenjangan sosial merajalela
Membelah umat yang satu dan yang lainnya
Menyombongkan mandi uang yang fana
Atau sengaja pura-pura kaya?
Demi terlihat 'wah' di mata manusia lainnya.
Dasar manusia.
—(L)95A
Sembahyang bagi atensi masa
Tempat berbelanja pasar karya
Bersembunyi dalam bilik gawai penuh warna
Di mana viewers menjadi segala.
Tuhan kedua
Ajang lomba gengsi manusia
Foto tak lagi menjadi tempat mengabadikan momentum yang ada
Tapi sarana unjuk rasa, tak mau kalah dengan manusia lainnya.
Tuhan kedua
Disembah tiada tara
Menghalalkan segala cara demi mendapat perhatian masa
Literasi kebohongan menjadi cuap ketergantungan manusia.
Tuhan kedua
Tempat bersaing berjeruji layar
Berlomba siapa yang paling hebat dalam bergelar
Sebab iri dan dengki yang menyelimuti debar.
Tuhan kedua
Penentu harga diri manusia
Kesenjangan sosial merajalela
Membelah umat yang satu dan yang lainnya
Menyombongkan mandi uang yang fana
Atau sengaja pura-pura kaya?
Demi terlihat 'wah' di mata manusia lainnya.
Dasar manusia.
—(L)95A
[Lapang Rekah ]
Langit tak pernah membicarakanmu
bahkan hujan pun begitu
seakan ia menjagamu dalam rahasia-rahasia
sedang aku ingin lebih mengenalmu
Bulan tak akan bicara tentangmu
hanya meneduhkanku dalam tanya-tanya
bahkan tak ada ucapan yang dibisikkan
oleh angin-angin yang pernah menghembus tubuhmu
Telah berapa untai bunga yang bermekaran
tapi jawabanmu masih tersimpan
sampai kapan, aku hanya mengenal namamu
sedang, senyummu itu belum kutahu ceritanya
Berapa banyak lagi hujan untuk mengenangmu
bahkan sapaku saja tak pernah tersampaikan
sepatah kata pun lebih dari cukup
tidak seperti puisi-puisiku yang malu-malu ini
Biarlah alam menyimpan segala jawabmu
mungkin lewat itu, tiada habis lagi doa-doa
kala nanti, kusampaikan segala nyataku
untuk mengenalmu, lewat apa pun itu
Walaupun nantinya, tak tau akan seperti apa
tetapi, satu sapamu kelak
adalah sejukku
sebagai seorang yang mengagumimu
Jakarta Di Ujung Pena
— Rizky Adriansyah
Langit tak pernah membicarakanmu
bahkan hujan pun begitu
seakan ia menjagamu dalam rahasia-rahasia
sedang aku ingin lebih mengenalmu
Bulan tak akan bicara tentangmu
hanya meneduhkanku dalam tanya-tanya
bahkan tak ada ucapan yang dibisikkan
oleh angin-angin yang pernah menghembus tubuhmu
Telah berapa untai bunga yang bermekaran
tapi jawabanmu masih tersimpan
sampai kapan, aku hanya mengenal namamu
sedang, senyummu itu belum kutahu ceritanya
Berapa banyak lagi hujan untuk mengenangmu
bahkan sapaku saja tak pernah tersampaikan
sepatah kata pun lebih dari cukup
tidak seperti puisi-puisiku yang malu-malu ini
Biarlah alam menyimpan segala jawabmu
mungkin lewat itu, tiada habis lagi doa-doa
kala nanti, kusampaikan segala nyataku
untuk mengenalmu, lewat apa pun itu
Walaupun nantinya, tak tau akan seperti apa
tetapi, satu sapamu kelak
adalah sejukku
sebagai seorang yang mengagumimu
Jakarta Di Ujung Pena
— Rizky Adriansyah
[SUARA DARI MEREKA YANG MENYEBUT NEGARA PAPUA]
Tak banyak mengeluh bagi kami
Pribadi tangguh diajarkan Pertiwi
Namun; saudara semakin menggila—mencerca
Diperkosa—segala digerilya luar biasa
Bertahun-tahun kami berkabung
Dikurasnya lautan serta gunung-gunung
Dipangkas—diperas sampai ampas
Dikuliti dengan bengis: habis—miris.
Merdeka hanya sebuah kata muspra
Untuk kami—Papua.
Diasingkan induknya
Dimusuhi dari saudaranya
Dianugrahi alam mewah sungguh nestapa
Memetik bencana—memanen derita
Memorak-porandakan segala yang ada
Tak seperti Pulau Jawa dipuja—dimanja
Suara tangis menyerbu pilu
Saudara kami diburu peluru
Di hutan atau di tengah lautan
Serdadu suruhan atas asas keamanan—kemakmuran
Cita-cita mengembara mengarungi doa
Mengepal tinju perlawanan; kebenaran.
Kembali kekayaan—kembali kejayaan
Memperebut kemerdekaan sampai darah penghabisan
Mereka hidangkan mesiu untuk dimasak
Bagi siapa saja dianggap pemberontak
Papua tanah surga;
Bukan milik para penguasa.
— mesinketik
Tak banyak mengeluh bagi kami
Pribadi tangguh diajarkan Pertiwi
Namun; saudara semakin menggila—mencerca
Diperkosa—segala digerilya luar biasa
Bertahun-tahun kami berkabung
Dikurasnya lautan serta gunung-gunung
Dipangkas—diperas sampai ampas
Dikuliti dengan bengis: habis—miris.
Merdeka hanya sebuah kata muspra
Untuk kami—Papua.
Diasingkan induknya
Dimusuhi dari saudaranya
Dianugrahi alam mewah sungguh nestapa
Memetik bencana—memanen derita
Memorak-porandakan segala yang ada
Tak seperti Pulau Jawa dipuja—dimanja
Suara tangis menyerbu pilu
Saudara kami diburu peluru
Di hutan atau di tengah lautan
Serdadu suruhan atas asas keamanan—kemakmuran
Cita-cita mengembara mengarungi doa
Mengepal tinju perlawanan; kebenaran.
Kembali kekayaan—kembali kejayaan
Memperebut kemerdekaan sampai darah penghabisan
Mereka hidangkan mesiu untuk dimasak
Bagi siapa saja dianggap pemberontak
Papua tanah surga;
Bukan milik para penguasa.
— mesinketik
[Sedang Ingin Mengingat Saja]
Ternyata, sesuatu yang sederhana justru menjadi yang paling sulit dilupakan. Setidaknya, setelah almanak berganti sepuluh kali, aku baru menyadari bahwa percakapan-percakapan di masa silam masih hidup di dalam kenangan-kenangan berbentuk ponsel tua dan usang.
Membacanya kembali serupa menyelami lautan dingin–begitulah sikap yang kautunjukkan padaku setelah jarak menjadi dinding di antara kita. Percakapan pertama yang begitu membekas; ketidakpercayaan diri yang dulu sekali meranggas keberanian, bicara denganmu serupa memusatkan energi begitu besar.
Aku begitu bodoh di waktu itu. Membiarkan detik menjahit dirinya sendiri sampai akhirnya aku mengirimimu sebuah pesan teks–pesan yang menjadi titik permulaan dari perasaan yang kelak kita jahit bersama. Atau setidaknya, aku yang merasa begitu.
Membaca kumpulan pesan-pesan ini membuatku berpikir kembali. Siapa yang salah di antara kita? Kamu yang menyalahkan kepergianku ke kota lain atau aku, yang membiarkan perjalanan kita bergerak tanpa tujuan yang jelas.
Aku tidak pernah benar-benar mengatakannya padamu. Kaulah yang mempertanyakan.
Tiada jawaban yang jelas, kau memutuskan untuk mulai menjaga jarak–tidak dengan hatimu. Meski bibirmu berkata sebaliknya, melalui pesan demi pesan yang kita tukar aku begitu yakin bahwa pelan-pelan kita mulai memperbaiki jarak itu.
Membaca semua itu saja sudah menerbitkan senyum lagi di bibirku. Setelah sekian lama semua kata-kata membeku–mati ditikam kebodohan sendiri.
Semoga kau baik-baik saja. Aku hanya sedang ingin mengingat saja.
— Aksara Hujan
Ternyata, sesuatu yang sederhana justru menjadi yang paling sulit dilupakan. Setidaknya, setelah almanak berganti sepuluh kali, aku baru menyadari bahwa percakapan-percakapan di masa silam masih hidup di dalam kenangan-kenangan berbentuk ponsel tua dan usang.
Membacanya kembali serupa menyelami lautan dingin–begitulah sikap yang kautunjukkan padaku setelah jarak menjadi dinding di antara kita. Percakapan pertama yang begitu membekas; ketidakpercayaan diri yang dulu sekali meranggas keberanian, bicara denganmu serupa memusatkan energi begitu besar.
Aku begitu bodoh di waktu itu. Membiarkan detik menjahit dirinya sendiri sampai akhirnya aku mengirimimu sebuah pesan teks–pesan yang menjadi titik permulaan dari perasaan yang kelak kita jahit bersama. Atau setidaknya, aku yang merasa begitu.
Membaca kumpulan pesan-pesan ini membuatku berpikir kembali. Siapa yang salah di antara kita? Kamu yang menyalahkan kepergianku ke kota lain atau aku, yang membiarkan perjalanan kita bergerak tanpa tujuan yang jelas.
Aku tidak pernah benar-benar mengatakannya padamu. Kaulah yang mempertanyakan.
Tiada jawaban yang jelas, kau memutuskan untuk mulai menjaga jarak–tidak dengan hatimu. Meski bibirmu berkata sebaliknya, melalui pesan demi pesan yang kita tukar aku begitu yakin bahwa pelan-pelan kita mulai memperbaiki jarak itu.
Membaca semua itu saja sudah menerbitkan senyum lagi di bibirku. Setelah sekian lama semua kata-kata membeku–mati ditikam kebodohan sendiri.
Semoga kau baik-baik saja. Aku hanya sedang ingin mengingat saja.
— Aksara Hujan
Aku ingin berbagi persepektif denganmu.
Memandang jendela dunia, dengan ragam pikiran kita.
Aku ingin berbagi pemikiran denganmu.
Mencari buah esensi, dengan teori yang sebenarnya menjelma pengisi obrolan sepi.
Aku ingin berbagi lagu kesukaanku padamu.
Agar saat kau mendengarnya. Kamu tak hanya menikmati lagunya, namun menikmati memori yang terisi aku di dalamnya.
Aku ingin berbagi aku pada hidupmu. Agar saat aku telah berada pada titik dimana tak lagi bisa berbagi, kamulah yang akan berbagi memori tentangku pada mereka.
Aku. Ingin berbagi.
— Arief Aumar Purwanto
Memandang jendela dunia, dengan ragam pikiran kita.
Aku ingin berbagi pemikiran denganmu.
Mencari buah esensi, dengan teori yang sebenarnya menjelma pengisi obrolan sepi.
Aku ingin berbagi lagu kesukaanku padamu.
Agar saat kau mendengarnya. Kamu tak hanya menikmati lagunya, namun menikmati memori yang terisi aku di dalamnya.
Aku ingin berbagi aku pada hidupmu. Agar saat aku telah berada pada titik dimana tak lagi bisa berbagi, kamulah yang akan berbagi memori tentangku pada mereka.
Aku. Ingin berbagi.
— Arief Aumar Purwanto
[Pelukan]
Rindu telah lembur
pada setiap kantung mata—ditabungnya bulir hujan
seberapa pekat malam hampir sama warnanya
kecoklatan seakan berbicara tentang sebuah cerita
Sebuah mimpi terus diputar dalam tidur
meski film-film kesukaanmu
tak pernah terdapat dalam mimpi yang abstrak itu
semisal kau dan aku jadi pemeran utamanya
Sedangkan lagumu pentar di kejauhan
sebab sepi telah bertamu di rumah
keriuhan pulang dalam diam kebisuan
dan tubuhmu mendingin kebiru-biruan
Lamunan panjang yang berlayar
melipat jarak menarik musim bergantian
mencari-cari tempat untuk menepi
barangkali dalam kesenyapan ada ketenangan
Kala kau beralih dan melirih
tak ada sebuah alasan untuk tetap tinggal
kecuali desau angin-angin yang meniru suaramu
memeras risauku akan sebuah pelukan lamamu
Tak ada yang tau
doa pun segan memelukmu
apalagi nyataku
dalam benak—sebuah kepergian
Jakarta Di Ujung Pena
— Rizky Adriansyah
Rindu telah lembur
pada setiap kantung mata—ditabungnya bulir hujan
seberapa pekat malam hampir sama warnanya
kecoklatan seakan berbicara tentang sebuah cerita
Sebuah mimpi terus diputar dalam tidur
meski film-film kesukaanmu
tak pernah terdapat dalam mimpi yang abstrak itu
semisal kau dan aku jadi pemeran utamanya
Sedangkan lagumu pentar di kejauhan
sebab sepi telah bertamu di rumah
keriuhan pulang dalam diam kebisuan
dan tubuhmu mendingin kebiru-biruan
Lamunan panjang yang berlayar
melipat jarak menarik musim bergantian
mencari-cari tempat untuk menepi
barangkali dalam kesenyapan ada ketenangan
Kala kau beralih dan melirih
tak ada sebuah alasan untuk tetap tinggal
kecuali desau angin-angin yang meniru suaramu
memeras risauku akan sebuah pelukan lamamu
Tak ada yang tau
doa pun segan memelukmu
apalagi nyataku
dalam benak—sebuah kepergian
Jakarta Di Ujung Pena
— Rizky Adriansyah
[Nelangsa: Mulai Saat Ini]
Mulai saat ini aku melepaskanmu, bukan karena sudah tak ada rasa. Melainkan runtuh segala harapan dan tujuan yang mengubahnya binasa.
Mulai saat ini aku merelakanmu, bukan karena peduliku sudah tak utuh. Melainkan takdir berkata Iain pun jiwaku telah sampai di penghujung rapuh.
Mulai saat ini aku berhenti mempertahankanmu, bukan karena tak ingin. Melainkan penantian panjang tiada arti jika semesta tak memberi izin.
Mulai saat ini kau dan aku berpisah, bukan perkara hilangnya resah. Melainkan kita memang hanya mampu bersama dalam dunia antah berantah.
Mulai saat ini aku biarkan kau pergi, silakan bersenang di hati yang baru. Tak usah kau pikirkan aku, hempaskan seluruh gusar dengan menderu.
Mulai saat ini kau dan aku tak mungkin tegur sapa, menyisakan nestapa. Jangankan mengirim sebuah kabar, bahkan mencipta debar saja samar-samar.
Mulai saat ini tak akan ada pula canda lewat cerita, sesak menyelimuti derita. Sebab kisah kita cukup terkenang melalui kata yang turut berduka cita.
Apa gunanya kau dan aku bersatu, kalau kedekatan ditentukan sang waktu. Apa gunanya kau dan aku merajut cinta, kalau akhirnya hadirkan air mata.
Kau dan aku berawal dari ganjil, berusaha kuat agar bahagia mendapat hasil. Kita saat ini adalah genap, namun tak bisa Iagi untuk saling mendekap.
— nurauliasari
Mulai saat ini aku melepaskanmu, bukan karena sudah tak ada rasa. Melainkan runtuh segala harapan dan tujuan yang mengubahnya binasa.
Mulai saat ini aku merelakanmu, bukan karena peduliku sudah tak utuh. Melainkan takdir berkata Iain pun jiwaku telah sampai di penghujung rapuh.
Mulai saat ini aku berhenti mempertahankanmu, bukan karena tak ingin. Melainkan penantian panjang tiada arti jika semesta tak memberi izin.
Mulai saat ini kau dan aku berpisah, bukan perkara hilangnya resah. Melainkan kita memang hanya mampu bersama dalam dunia antah berantah.
Mulai saat ini aku biarkan kau pergi, silakan bersenang di hati yang baru. Tak usah kau pikirkan aku, hempaskan seluruh gusar dengan menderu.
Mulai saat ini kau dan aku tak mungkin tegur sapa, menyisakan nestapa. Jangankan mengirim sebuah kabar, bahkan mencipta debar saja samar-samar.
Mulai saat ini tak akan ada pula canda lewat cerita, sesak menyelimuti derita. Sebab kisah kita cukup terkenang melalui kata yang turut berduka cita.
Apa gunanya kau dan aku bersatu, kalau kedekatan ditentukan sang waktu. Apa gunanya kau dan aku merajut cinta, kalau akhirnya hadirkan air mata.
Kau dan aku berawal dari ganjil, berusaha kuat agar bahagia mendapat hasil. Kita saat ini adalah genap, namun tak bisa Iagi untuk saling mendekap.
— nurauliasari
Kita berada pada radius dekat,
Tapi bersekat
Semua perbincangan seolah tersendat
Terhadang oleh sebuah status asing; dua orang yang tak pernah lekat
Begitulah, aku dan dia
Perasaan yang tak pernah konkrit menjadi sama
Karena, semesta tak mengizinkan takdir untuk mengukirnya
Lalu, waktu membumihanguskan semua, tanpa sisa
Kalau dulu, debar ini selalu berlari-lari memenuhi dada
Saat semesta, membuat temu yang sebenarnya, tak sengaja
Sekarang, debar inipun mati dengan sendirinya
Sebab, jiwa ini sudah teramat letih pada sebuah pengharapan yang sia-sia
Kalau dulu, dia membuatku merasakan rasa yang tak biasa
Sekarang, dia sudah biasa-biasa saja untuk rasaku
— deep-laid
#SejawatMahitala
Tapi bersekat
Semua perbincangan seolah tersendat
Terhadang oleh sebuah status asing; dua orang yang tak pernah lekat
Begitulah, aku dan dia
Perasaan yang tak pernah konkrit menjadi sama
Karena, semesta tak mengizinkan takdir untuk mengukirnya
Lalu, waktu membumihanguskan semua, tanpa sisa
Kalau dulu, debar ini selalu berlari-lari memenuhi dada
Saat semesta, membuat temu yang sebenarnya, tak sengaja
Sekarang, debar inipun mati dengan sendirinya
Sebab, jiwa ini sudah teramat letih pada sebuah pengharapan yang sia-sia
Kalau dulu, dia membuatku merasakan rasa yang tak biasa
Sekarang, dia sudah biasa-biasa saja untuk rasaku
— deep-laid
#SejawatMahitala
Di titik kenangan yang mulai renta,
kasihku masih saja terus mengurai
sebab bayangmu makin membuai
Di bibir masa yang mulai terbata,
hingga kini masih saja aku meragu
tanya mengapa sesak mengganggu
Di raut yang meneteskan air mata,
tangisku pecah bak hancur mayapada
tidak sanggup menakwilkan tanda
Di nadir gabungkan segala memori,
kau menjadi satu-satunya yang kucari
sendiri dalam hati senantiasa berdikari
Atas harapan yang secara perlahan hilang,
kita seperti sembunyi bersama mihrab cinta
kau memilih bungkam dengan segenap lejar
sedang aku kembali termangu oleh memar
Setelah aku dan kau berakhir, kita hanya menjelma
sepasang hampir. Biarkan nantinya kisah-kisah
baru hadir sangat mahir melalui garis takdir.
Akan kuhanyutkan luapan rasa ke sudut dirgantara,
kuhempaskan seluruh lara, sekaligus musnahkan
helai-helai rindu agar mereka lepas mengudara.
Simpan cerita kita lewat aksara, menuntun kata
bersuara seraya bermetamorfosis kejora dan
aurora untuk kemudian dikalungkan di alur asmara.
— nurauliasari, Impresi.
kasihku masih saja terus mengurai
sebab bayangmu makin membuai
Di bibir masa yang mulai terbata,
hingga kini masih saja aku meragu
tanya mengapa sesak mengganggu
Di raut yang meneteskan air mata,
tangisku pecah bak hancur mayapada
tidak sanggup menakwilkan tanda
Di nadir gabungkan segala memori,
kau menjadi satu-satunya yang kucari
sendiri dalam hati senantiasa berdikari
Atas harapan yang secara perlahan hilang,
kita seperti sembunyi bersama mihrab cinta
kau memilih bungkam dengan segenap lejar
sedang aku kembali termangu oleh memar
Setelah aku dan kau berakhir, kita hanya menjelma
sepasang hampir. Biarkan nantinya kisah-kisah
baru hadir sangat mahir melalui garis takdir.
Akan kuhanyutkan luapan rasa ke sudut dirgantara,
kuhempaskan seluruh lara, sekaligus musnahkan
helai-helai rindu agar mereka lepas mengudara.
Simpan cerita kita lewat aksara, menuntun kata
bersuara seraya bermetamorfosis kejora dan
aurora untuk kemudian dikalungkan di alur asmara.
— nurauliasari, Impresi.
[Marsinah tanpa keadilan]
Bekerja secara paksa
Tapi upah tidak setara
Marsinah dan buruh lainnya rasa
Melakukan aksi untuk segala kecewa
Tuntutannya sudah terlaksana;
Tapi dendam masih tetap ada.
Begitu kata para pengusaha
Sewa aparat untuk menjadi algojonya
Siapa sangka berujung celaka
Beberapa diantaranya; ada yang disiksa.
Disekap dengan tangan dikepala
Diiringi pekik sebagai kesaksiannya
Marsinah hilang entah kemana
Pencarian dengan segala upaya
Ditemukan di dalam hutan belantara
Setelah tiga hari tak terlihat sosoknya
Marsinah sudah tak berdaya
Tubuhnya diselimuti luka
Akibat siksa dari berbagai benda
Diperkosa sebelum tiada
Pada saat penuntasan pengadilan
Mahkamah Agung membatalkan tuntutan
Para pelaku bebas tanpa hukuman
Di surga; Marsinah tersedan-sedan
— mesinketik
Bekerja secara paksa
Tapi upah tidak setara
Marsinah dan buruh lainnya rasa
Melakukan aksi untuk segala kecewa
Tuntutannya sudah terlaksana;
Tapi dendam masih tetap ada.
Begitu kata para pengusaha
Sewa aparat untuk menjadi algojonya
Siapa sangka berujung celaka
Beberapa diantaranya; ada yang disiksa.
Disekap dengan tangan dikepala
Diiringi pekik sebagai kesaksiannya
Marsinah hilang entah kemana
Pencarian dengan segala upaya
Ditemukan di dalam hutan belantara
Setelah tiga hari tak terlihat sosoknya
Marsinah sudah tak berdaya
Tubuhnya diselimuti luka
Akibat siksa dari berbagai benda
Diperkosa sebelum tiada
Pada saat penuntasan pengadilan
Mahkamah Agung membatalkan tuntutan
Para pelaku bebas tanpa hukuman
Di surga; Marsinah tersedan-sedan
— mesinketik
/i/
adakah lain yang mendengar? puing-puing sanubari itu berjatuhan.
di antara harap yang berderap, seluruhnya berujung sembilu. kalau memang benar, semoga kunjung sembuh oleh sang waktu. semoga, semoga begitu.
/ii/
adakah lain yang mendengar? puing-puing sanubari itu berjatuhan.
beberapa berkata bahwa jika yang kautunggu itu tak jua menawarkan sambutan, maka tinggalkan. betapa ingin yang tak pernah lekas terkabulkan. betapa kaki ingin berlari, betapa pikiran ingin melupakan.
/ii/
adakah lain yang mendengar? puing-puing sanubari itu berjatuhan.
duhai, semoga logika kunjung lupa, semoga kalbu berhenti memeluk semu. semoga, semoga semudah itu.
— Nanda F.
#monochromessheet
adakah lain yang mendengar? puing-puing sanubari itu berjatuhan.
di antara harap yang berderap, seluruhnya berujung sembilu. kalau memang benar, semoga kunjung sembuh oleh sang waktu. semoga, semoga begitu.
/ii/
adakah lain yang mendengar? puing-puing sanubari itu berjatuhan.
beberapa berkata bahwa jika yang kautunggu itu tak jua menawarkan sambutan, maka tinggalkan. betapa ingin yang tak pernah lekas terkabulkan. betapa kaki ingin berlari, betapa pikiran ingin melupakan.
/ii/
adakah lain yang mendengar? puing-puing sanubari itu berjatuhan.
duhai, semoga logika kunjung lupa, semoga kalbu berhenti memeluk semu. semoga, semoga semudah itu.
— Nanda F.
#monochromessheet
[ Dulu. ]
Dulu prioritas,
Sekarang malah jadi luka yang membekas.
Dulu pemberi kasih sayang,
Sekarang dirimu yang menghilang.
Dulu yang setia menemani,
Sekarang menjadi pencaci.
Melihatmu, dulu yang paling membuatku tersenyum lebar.
Sekarang melihatmu tak lagi membuatku berdebar.
Suatu perasaan yang ku harap indah,
Malah berakhir pisah.
Suatu hubungan yang aku rela berdarah berjuang, malah berakhir menjadi yang terbuang.
Yang ku harap satu-satunya tempat yang teduh,
Malah berakhir rubuh, hingga tak lagi utuh.
Meski kau buatku terjatuh, berkali-kali hingga lumpuh.
Namun ingatan tentangmu sekalipun tak akan luruh.
Setelah kau buat duniaku berduka.
Tak ada lagi alasan untuk ku percayai cinta.
Kalau pada akhiran hanya ku temui sirna.
Karena aku pernah sebegitu dipatahkan.
Oleh sebuah harapan.
Yang tidak ku jumpai kebahagiaan.
— penghapuspena
Dulu prioritas,
Sekarang malah jadi luka yang membekas.
Dulu pemberi kasih sayang,
Sekarang dirimu yang menghilang.
Dulu yang setia menemani,
Sekarang menjadi pencaci.
Melihatmu, dulu yang paling membuatku tersenyum lebar.
Sekarang melihatmu tak lagi membuatku berdebar.
Suatu perasaan yang ku harap indah,
Malah berakhir pisah.
Suatu hubungan yang aku rela berdarah berjuang, malah berakhir menjadi yang terbuang.
Yang ku harap satu-satunya tempat yang teduh,
Malah berakhir rubuh, hingga tak lagi utuh.
Meski kau buatku terjatuh, berkali-kali hingga lumpuh.
Namun ingatan tentangmu sekalipun tak akan luruh.
Setelah kau buat duniaku berduka.
Tak ada lagi alasan untuk ku percayai cinta.
Kalau pada akhiran hanya ku temui sirna.
Karena aku pernah sebegitu dipatahkan.
Oleh sebuah harapan.
Yang tidak ku jumpai kebahagiaan.
— penghapuspena
[ S A B A R ]
Hatiku pernah menjelma sistem hierarki, merasakan pedih dari kedudukan terbawah hingga yang paling kuat. Air mataku pernah terbungkam terlalu lama kala melihat wajahmu disaat rindu mengoyak sedang raga tak bisa berbuat. Aku masih bertahan.
Berbulan-bulan aku bagai budak dari Tuan Kesedihan, menatap kosong kehidupan dan berkhayal tentang dunia yang indah bilamana aku dan kamu menjadi satu, lagi, dan lagi aku hancur karena khayalanku sendiri. Sesekali aku melawan Tuan, berusaha mengalihkan pikiran dan mencetak pencapaian. Aku masih bertahan.
Rupanya semesta masih baik, ia mendorongmu untuk menghubungiku, bukan? Walau hanya sebentar, dan tak selepas dulu, aku bersyukur. Aku tahu betul, kamu rindu, tapi kamu masih teguh atas pengabdian pada tanggung jawabmu. Dan secuil pesan darimu, semakin mengganas sang rindu. Aku masih bertahan.
Sempat aku ingin pergi, dan tak akan pernah lagi kembali. Sempat aku tak mau menampakkan wajahku di depanmu, terlintas di benakku bahwa, jika aku tak bisa berdamai dengan rindu, maka aku yang akan membuatmu membusuk karena rindu. Tapi, aku masih bertahan.
Sebab kemampuanku dalam bertahan, akhirnya kamu memutuskan kembali, menemani hari-hariku lagi, saling menyemangati lagi. Namun, aku yang sangat ingin menghajar habis rindu nyatanya belum mampu, sebab waktu masih mencurimu dariku. Aku masih bertahan.
Tiada hari tanpa saling menyalahkan, lalu aku sering berucap bahwa ingin mengakhiri hubungan. Tapi aku selalu kembali, bahkan ketika keadaannya berbalik, ketika ucapan itu yang sering menghujamku, aku tidak pernah pergi dari rumahku, kamu. Aku masih bertahan.
Di penghujung senja kala itu, satu persatu tanggung jawab yang mengikatmu erat, terlepas. Rasanya seperti hidup di dunia baru, tak ada tirai yang menutup kami, tak ada sekat yang membatasi.
Kami sama-sama saling menggenggam dengan erat lagi, dan aku semakin tak mau melepasmu. Ditambah lagi, ketika ayat-ayat suci bersenandung merdu keluar dari bibirmu, dan ajakan beribadah darimu menarikku, aku semakin yakin bahwa setiap manusia tak boleh sekedar mengikat tali dengan manusia lainnya, tetapi juga denganNya, pemberi ketetapan terbaik dalam hidup, yang membayar kesabaranku selama ini.
— tjt
Hatiku pernah menjelma sistem hierarki, merasakan pedih dari kedudukan terbawah hingga yang paling kuat. Air mataku pernah terbungkam terlalu lama kala melihat wajahmu disaat rindu mengoyak sedang raga tak bisa berbuat. Aku masih bertahan.
Berbulan-bulan aku bagai budak dari Tuan Kesedihan, menatap kosong kehidupan dan berkhayal tentang dunia yang indah bilamana aku dan kamu menjadi satu, lagi, dan lagi aku hancur karena khayalanku sendiri. Sesekali aku melawan Tuan, berusaha mengalihkan pikiran dan mencetak pencapaian. Aku masih bertahan.
Rupanya semesta masih baik, ia mendorongmu untuk menghubungiku, bukan? Walau hanya sebentar, dan tak selepas dulu, aku bersyukur. Aku tahu betul, kamu rindu, tapi kamu masih teguh atas pengabdian pada tanggung jawabmu. Dan secuil pesan darimu, semakin mengganas sang rindu. Aku masih bertahan.
Sempat aku ingin pergi, dan tak akan pernah lagi kembali. Sempat aku tak mau menampakkan wajahku di depanmu, terlintas di benakku bahwa, jika aku tak bisa berdamai dengan rindu, maka aku yang akan membuatmu membusuk karena rindu. Tapi, aku masih bertahan.
Sebab kemampuanku dalam bertahan, akhirnya kamu memutuskan kembali, menemani hari-hariku lagi, saling menyemangati lagi. Namun, aku yang sangat ingin menghajar habis rindu nyatanya belum mampu, sebab waktu masih mencurimu dariku. Aku masih bertahan.
Tiada hari tanpa saling menyalahkan, lalu aku sering berucap bahwa ingin mengakhiri hubungan. Tapi aku selalu kembali, bahkan ketika keadaannya berbalik, ketika ucapan itu yang sering menghujamku, aku tidak pernah pergi dari rumahku, kamu. Aku masih bertahan.
Di penghujung senja kala itu, satu persatu tanggung jawab yang mengikatmu erat, terlepas. Rasanya seperti hidup di dunia baru, tak ada tirai yang menutup kami, tak ada sekat yang membatasi.
Kami sama-sama saling menggenggam dengan erat lagi, dan aku semakin tak mau melepasmu. Ditambah lagi, ketika ayat-ayat suci bersenandung merdu keluar dari bibirmu, dan ajakan beribadah darimu menarikku, aku semakin yakin bahwa setiap manusia tak boleh sekedar mengikat tali dengan manusia lainnya, tetapi juga denganNya, pemberi ketetapan terbaik dalam hidup, yang membayar kesabaranku selama ini.
— tjt
[Penguasa bebal]
Mereka para penguasa
Tak lagi suka dijejalkan kata-kata
Bersuara telah dianggap biasa
Kami berusaha—mereka cari celah
Para petani bercerai dengan ladangnya sendiri
Dijanjikan dengan harga tertinggi agar ia segera pergi
Pada aksi kamisan; di depan istana mereka berdiri
Menangisi padi yang tak bisa ditanam kembali
Tidak lupa; ada beberapa orang tua disana
Menunggu anaknya pulang yang hilang entah kemana
Menunggu kabar dari para pelaku dan bermacam saksi
Ratusan kali menyurat; balasan pun tak didapat
Nelayan berdatangan
Menuju ibu kota tanpa sampan
Ikan-ikan telah susah ia dapatkan
Perusahaan dan pihak asing telah mengelola lautan
Pada pemerintahan; kami menggadai banyak harapan
Berkewajiban menjujung tinggi kemanusiaan
Tanpa ada kekerasan ataupun yang berlebihan
Sekali lagi: kami ingin kedaulatan rakyat disegerakan.
Bapak atau ibu sekalian
Kami adalah korban yang telah kalian lakukan
Nyawa telah aku pertaruhkan menuju keadilan
Bermimpi panjang umur pada kemanusiaan
— mesinketik
Mereka para penguasa
Tak lagi suka dijejalkan kata-kata
Bersuara telah dianggap biasa
Kami berusaha—mereka cari celah
Para petani bercerai dengan ladangnya sendiri
Dijanjikan dengan harga tertinggi agar ia segera pergi
Pada aksi kamisan; di depan istana mereka berdiri
Menangisi padi yang tak bisa ditanam kembali
Tidak lupa; ada beberapa orang tua disana
Menunggu anaknya pulang yang hilang entah kemana
Menunggu kabar dari para pelaku dan bermacam saksi
Ratusan kali menyurat; balasan pun tak didapat
Nelayan berdatangan
Menuju ibu kota tanpa sampan
Ikan-ikan telah susah ia dapatkan
Perusahaan dan pihak asing telah mengelola lautan
Pada pemerintahan; kami menggadai banyak harapan
Berkewajiban menjujung tinggi kemanusiaan
Tanpa ada kekerasan ataupun yang berlebihan
Sekali lagi: kami ingin kedaulatan rakyat disegerakan.
Bapak atau ibu sekalian
Kami adalah korban yang telah kalian lakukan
Nyawa telah aku pertaruhkan menuju keadilan
Bermimpi panjang umur pada kemanusiaan
— mesinketik
Aku bercengkrama dengan akar
Di bawah tanah yang tak berpencar
Tenggelam dalam ingar-bingar
Aku hidup tanpa pendengar
Aku hidup bukan untuk didengar
Aku belum bisa keluar
Bukan salahku, bukan salah Tuhan
Aku berandai-andai tentang hancur
Atau mumur digerogoti cacing kubur
Tak ada lagi pilihan untuk kabur
Tak ada lagi alasan untuk kabur
—i38a
#Sincerelyi38a : Semut
Di bawah tanah yang tak berpencar
Tenggelam dalam ingar-bingar
Aku hidup tanpa pendengar
Aku hidup bukan untuk didengar
Aku belum bisa keluar
Bukan salahku, bukan salah Tuhan
Aku berandai-andai tentang hancur
Atau mumur digerogoti cacing kubur
Tak ada lagi pilihan untuk kabur
Tak ada lagi alasan untuk kabur
—i38a
#Sincerelyi38a : Semut
lalu genta berbunyi,
memaksaku kembali ke realita.
.
.
.
.
.
.
ada satu hal dalam dunia ini yang selalu membuatku menikmati hari:
satu momen yang tiba
jauh setelah arunika datang,
setelah senandika pagi ku selesai
dan setelah diriku berafeksi dengan kesadaran.
senyummu yang berpendar,
membuat pagi berwarna.
sapaanmu sebelum memasuki kelas, membuat hati berbunga-bunga.
tatapan netramu yang nirmala,
membuatku candu, tak bisa teralihkan.
tangan kita yang bertautan,
membentuk jeladri filantropi yang menghangatkan.
korelasi kita yang senandu,
melelehkan bahkan dunia yang paling dingin.
kita bersama,
adalah hal terindah dalam dunia ini.
lalu genta berbunyi,
memaksaku kembali ke realita.
— Laurent x Riv.
#lonesomewriter
#rivthoughts
memaksaku kembali ke realita.
.
.
.
.
.
.
ada satu hal dalam dunia ini yang selalu membuatku menikmati hari:
satu momen yang tiba
jauh setelah arunika datang,
setelah senandika pagi ku selesai
dan setelah diriku berafeksi dengan kesadaran.
senyummu yang berpendar,
membuat pagi berwarna.
sapaanmu sebelum memasuki kelas, membuat hati berbunga-bunga.
tatapan netramu yang nirmala,
membuatku candu, tak bisa teralihkan.
tangan kita yang bertautan,
membentuk jeladri filantropi yang menghangatkan.
korelasi kita yang senandu,
melelehkan bahkan dunia yang paling dingin.
kita bersama,
adalah hal terindah dalam dunia ini.
lalu genta berbunyi,
memaksaku kembali ke realita.
— Laurent x Riv.
#lonesomewriter
#rivthoughts
cakrawala bersamaku
langkah melangkah
meranya suatu yang konstan
bermodal akal dan egoku
inginku, musnah renjana ini
walaupun resonansi tetap bersama
berupaya menelantarkan
apa daya, bayanganmu tak mengabulkan
berserak
puan berteriak
baluarti telah mati
puan disana
lama tak bersua
gila, aku gila
kala gugur segala rasa
—afarhan & mfarkhan
[afeksimu buatan—
antipatimu kelewatan]
#dirtysheet
langkah melangkah
meranya suatu yang konstan
bermodal akal dan egoku
inginku, musnah renjana ini
walaupun resonansi tetap bersama
berupaya menelantarkan
apa daya, bayanganmu tak mengabulkan
berserak
puan berteriak
baluarti telah mati
puan disana
lama tak bersua
gila, aku gila
kala gugur segala rasa
—afarhan & mfarkhan
[afeksimu buatan—
antipatimu kelewatan]
#dirtysheet
DALAM DOAKU
oleh Sapardi Djoko Damono
dalam doaku subuh ini kau menjelma langit yang
semalaman
tak memejamkan mata, yang meluas bening
siap
menerima cahaya pertama, yang melengkung hening karena
akan menerima suara-suara
ketika matahari mengambang tenang di atas kepala,
dalam
doaku kau menjelma pucuk-pucuk cemara yang hijau
senantiasa, yang tak henti-hentinya mengajukan pertanyaan
muskil kepada angin yang mendesau entah dari mana
dalam doaku sore ini kau menjelma seekor burung
gereja yang
mengibas-ibaskan bulunya dalam gerimis, yang hinggap di
ranting dan menggugurkan bulu-bulu
bunga jambu, yang
tiba-tiba gelisah dan terbang lalu hinggap di dahan mangga itu
maghrib ini dalam doaku kau menjelma angin yang
turun sangat
perlahan dari nun di sana, bersijingkat
di jalan kecil itu,
menyusup di celah-celah jendela dan pintu, dan menyentuh-
nyentuhkan pipi dan bibirnya di rambut, dahi, dan bulu-bulu mataku
dalam doa malamku kau menjelma denyut jantungku, yang
dengan sabar bersitahan terhadap rasa sakit yang entah
batasnya, yang setia mengusut rahasia demi rahasia, yang
tak putus-putusnya bernyanyi bagi kehidupanku
aku mencintaimu, itu sebabnya aku takkan pernah selesai
mendoakan keselamatanmu
(1989)
oleh Sapardi Djoko Damono
dalam doaku subuh ini kau menjelma langit yang
semalaman
tak memejamkan mata, yang meluas bening
siap
menerima cahaya pertama, yang melengkung hening karena
akan menerima suara-suara
ketika matahari mengambang tenang di atas kepala,
dalam
doaku kau menjelma pucuk-pucuk cemara yang hijau
senantiasa, yang tak henti-hentinya mengajukan pertanyaan
muskil kepada angin yang mendesau entah dari mana
dalam doaku sore ini kau menjelma seekor burung
gereja yang
mengibas-ibaskan bulunya dalam gerimis, yang hinggap di
ranting dan menggugurkan bulu-bulu
bunga jambu, yang
tiba-tiba gelisah dan terbang lalu hinggap di dahan mangga itu
maghrib ini dalam doaku kau menjelma angin yang
turun sangat
perlahan dari nun di sana, bersijingkat
di jalan kecil itu,
menyusup di celah-celah jendela dan pintu, dan menyentuh-
nyentuhkan pipi dan bibirnya di rambut, dahi, dan bulu-bulu mataku
dalam doa malamku kau menjelma denyut jantungku, yang
dengan sabar bersitahan terhadap rasa sakit yang entah
batasnya, yang setia mengusut rahasia demi rahasia, yang
tak putus-putusnya bernyanyi bagi kehidupanku
aku mencintaimu, itu sebabnya aku takkan pernah selesai
mendoakan keselamatanmu
(1989)
[Jeladri Filantropi]
kususun diksi
tuk arungi jeladri
filantropi tanpa henti
yang gagah berdikari
kurangkai kata demi kata
bukan sekedar ucap semata
bukan hanya kiasan sementara
namun mereka kekal termaktub dalam pusara
sajakku bukan alat pelarian
ketika derai air mata memaksa berjatuhan
aksaraku bukan alat pertahanan
demi mengobati sakit kebohongan
baitku bukan tanda kelemahan jiwa
justru ia melambangkan kekuatan atma
memandang buana dengan netra
bukan dengan raga yang tersiksa
durjana menerka dalam kunarpa
terbujur kaku tak bernyawa
mati sudah ini rasa
karat tak bersisa
meninggalkan sajak, bait, serta aksara
sebagai kenangan terakhir yang tak terlupa
—bronto-saurus
#aksaraliar
kususun diksi
tuk arungi jeladri
filantropi tanpa henti
yang gagah berdikari
kurangkai kata demi kata
bukan sekedar ucap semata
bukan hanya kiasan sementara
namun mereka kekal termaktub dalam pusara
sajakku bukan alat pelarian
ketika derai air mata memaksa berjatuhan
aksaraku bukan alat pertahanan
demi mengobati sakit kebohongan
baitku bukan tanda kelemahan jiwa
justru ia melambangkan kekuatan atma
memandang buana dengan netra
bukan dengan raga yang tersiksa
durjana menerka dalam kunarpa
terbujur kaku tak bernyawa
mati sudah ini rasa
karat tak bersisa
meninggalkan sajak, bait, serta aksara
sebagai kenangan terakhir yang tak terlupa
—bronto-saurus
#aksaraliar
sepasang insan penuh adiwarna
dipenuhi gejolak asmara
'tak ayal mumpuni jiwa
nan bergelimang asa
namun, keduanya tahu pasti
bahwa ada sekat antar dua hati
yang sudah menjulang tinggi
dan, tak lagi bisa dilewati
keluh kesah cakra yang resah
meluluhlantakkan gemuruh pijak di atas tanah
merabut segala rancu keadaan gelisah
pun dengan ode bermelodi gundah
baskara mengaduh pada singgasana
menampikkan nelangsa pada buana
sesaat indahnya arunika
lantas tenggelam meninggalkan dunia
terlarut redup dalam nyaman
justru terjebak frekuensi kerinduan
penuh afeksi yang tak tersampaikan
pada cintanya di dunia yang dicampakkan
—vënus x bronto-saurus
#incisiondeVenus
#aksaraliar
dipenuhi gejolak asmara
'tak ayal mumpuni jiwa
nan bergelimang asa
namun, keduanya tahu pasti
bahwa ada sekat antar dua hati
yang sudah menjulang tinggi
dan, tak lagi bisa dilewati
keluh kesah cakra yang resah
meluluhlantakkan gemuruh pijak di atas tanah
merabut segala rancu keadaan gelisah
pun dengan ode bermelodi gundah
baskara mengaduh pada singgasana
menampikkan nelangsa pada buana
sesaat indahnya arunika
lantas tenggelam meninggalkan dunia
terlarut redup dalam nyaman
justru terjebak frekuensi kerinduan
penuh afeksi yang tak tersampaikan
pada cintanya di dunia yang dicampakkan
—vënus x bronto-saurus
#incisiondeVenus
#aksaraliar
Manusia bisa menjala langit
atau mengeruk palung,
lalu tentang dalamnya pikiran
masih saja membuat bingung.
Manusia bisa menjejak angkasa
atau sembunyi dalam saku tata surya,
lalu tentang isi hatinya
siapa yang bisa menyangka.
Manusia bisa meniup gunung
atau meronce kuman,
lalu tentang masa depan
semua ketakutan.
Manusia digdaya dan gampang diperdaya,
utuh sekaligus runtuh.
Yang tak banyak berani mereka bahas,
adalah bayang yang ada untuk cahaya.
Yang tak banyak berani mereka bahas,
manusia tidak pernah sempurna
dan indah karenanya.
Jagat raya yang ada dalam batok kepala.
—9996
#9996Series
atau mengeruk palung,
lalu tentang dalamnya pikiran
masih saja membuat bingung.
Manusia bisa menjejak angkasa
atau sembunyi dalam saku tata surya,
lalu tentang isi hatinya
siapa yang bisa menyangka.
Manusia bisa meniup gunung
atau meronce kuman,
lalu tentang masa depan
semua ketakutan.
Manusia digdaya dan gampang diperdaya,
utuh sekaligus runtuh.
Yang tak banyak berani mereka bahas,
adalah bayang yang ada untuk cahaya.
Yang tak banyak berani mereka bahas,
manusia tidak pernah sempurna
dan indah karenanya.
Jagat raya yang ada dalam batok kepala.
—9996
#9996Series
[ Pada Hari Ulang Tahunku, Aku “Bunuh Diri” ]
Semalam sebelum tiba jam dua belas, aku duduk di dalam kekosongan kamarku di atas lantai tanpa alas. Kegelapan menyelimutiku, mengekang seolah dia berdiri di sana tanpa batas. Aku was-was, perkara banyak hal yang belum tuntas.
Aku cemas, bagaimana kalau ternyata aku tidak bisa menyelesaikan apa yang sudah seharusnya aku selesaikan dalam waktu dekat? Sementara energiku terkuras dan aku sekarat. Aku takut dan ketakutan ini menenggelamkanku ke dalam samudera rasa kalut hingga tidak ada cahaya di sorot mataku kecuali badai dan kemelut.
Denting jam dua belas kemudian berbunyi, aku bertambah usia hari ini dan perasaan ingin mengakhiri nyawa sendiri itu datang lagi. Aku lelah dengan semua rasa sakit yang kualami, pertempuran internal dengan diri sendiri yang kupikir berat sekali. Aku letih dengan semua ini dan kupikir mati adalah sebaik-baiknya lari.
Ada monster serigala menancapkan kedua taring raksasanya di dalam kepala, dia meminta darah. Dia ingin aku meregang nyawa. Bimbangku tak kunjung reda hingga pukul satu tiba, hanya linang air mata yang menemaniku sambil menatap angkasa.
Pejamku membawaku ke banyak peristiwa yang sudah-sudah. Melintas di benakku bayangan mereka. Segala pahit yang dihujam ke ulu dadaku bahkan sejak aku masih berbentuk janin di dalam rahim bunda. Juga berlalu-lalang wajah-wajah yang telah memberiku luka sampai kulihat musuh terbesarku justru ada di dalam rumahku sendiri yang kukira istana.
Kulihat tawa mereka semua kalau aku menyerah setelah sebegini jauh melangkah. Kulihat seringai mereka bagai gigi-gigi runcing pemangsa di belantara. Kalau aku mati, mereka sama sekali tidak berduka. Tadinya alasan itu memperkuat aku ingin selesai saja, tapi kulihat seseorang di sana, seseorang yang paling kucinta dan demi nama darah, nanah dan seribu luka di kulitku yang belum juga memudar warnanya— demi Tuhan, aku bersumpah, aku tidak akan menyerah.
Kini kematian adalah sahabat bagiku, aku menyalaminya di hari ulang tahunku. Aku menyalaminya sebagai teman lama dan bukan lagi musuh. Sebab sesungguhnya siapapun yang tidak berdamai dengan mati, mungkin tidak akan pernah benar-benar merasai hidup sejati.
Pada hari ulang tahunku, aku bunuh diri. Aku membunuh diriku yang selalu takut kepada buruk yang sudah kulakukan di satu waktu, aku membunuh diriku yang selalu muram akan semua durja dan berusaha melenyapkannya dengan wajah seribu topengku yang lainnya. Aku membunuh diriku yang selalu ragu. Aku membunuh diriku yang gemetar tiap kali medan perang memanggil namaku tanpa gentar.
Aku membunuh diriku yang itu. Dan kini kuhidupkan aku yang baru. Aku yang akan membantai semua halang di depan muka, aku yang akan memenangkan pertarungan ini sejadi-jadinya.
Dulu mereka menganggapku bagai seekor peliharaan rumah yang manja, mereka salah. Aku seekor naga. Dan aku tidak akan menyerah.
Tidak sebelum di ujung taringku ada darah. Darah mereka.
— Apinja Anastasia
#maidenoffire
Semalam sebelum tiba jam dua belas, aku duduk di dalam kekosongan kamarku di atas lantai tanpa alas. Kegelapan menyelimutiku, mengekang seolah dia berdiri di sana tanpa batas. Aku was-was, perkara banyak hal yang belum tuntas.
Aku cemas, bagaimana kalau ternyata aku tidak bisa menyelesaikan apa yang sudah seharusnya aku selesaikan dalam waktu dekat? Sementara energiku terkuras dan aku sekarat. Aku takut dan ketakutan ini menenggelamkanku ke dalam samudera rasa kalut hingga tidak ada cahaya di sorot mataku kecuali badai dan kemelut.
Denting jam dua belas kemudian berbunyi, aku bertambah usia hari ini dan perasaan ingin mengakhiri nyawa sendiri itu datang lagi. Aku lelah dengan semua rasa sakit yang kualami, pertempuran internal dengan diri sendiri yang kupikir berat sekali. Aku letih dengan semua ini dan kupikir mati adalah sebaik-baiknya lari.
Ada monster serigala menancapkan kedua taring raksasanya di dalam kepala, dia meminta darah. Dia ingin aku meregang nyawa. Bimbangku tak kunjung reda hingga pukul satu tiba, hanya linang air mata yang menemaniku sambil menatap angkasa.
Pejamku membawaku ke banyak peristiwa yang sudah-sudah. Melintas di benakku bayangan mereka. Segala pahit yang dihujam ke ulu dadaku bahkan sejak aku masih berbentuk janin di dalam rahim bunda. Juga berlalu-lalang wajah-wajah yang telah memberiku luka sampai kulihat musuh terbesarku justru ada di dalam rumahku sendiri yang kukira istana.
Kulihat tawa mereka semua kalau aku menyerah setelah sebegini jauh melangkah. Kulihat seringai mereka bagai gigi-gigi runcing pemangsa di belantara. Kalau aku mati, mereka sama sekali tidak berduka. Tadinya alasan itu memperkuat aku ingin selesai saja, tapi kulihat seseorang di sana, seseorang yang paling kucinta dan demi nama darah, nanah dan seribu luka di kulitku yang belum juga memudar warnanya— demi Tuhan, aku bersumpah, aku tidak akan menyerah.
Kini kematian adalah sahabat bagiku, aku menyalaminya di hari ulang tahunku. Aku menyalaminya sebagai teman lama dan bukan lagi musuh. Sebab sesungguhnya siapapun yang tidak berdamai dengan mati, mungkin tidak akan pernah benar-benar merasai hidup sejati.
Pada hari ulang tahunku, aku bunuh diri. Aku membunuh diriku yang selalu takut kepada buruk yang sudah kulakukan di satu waktu, aku membunuh diriku yang selalu muram akan semua durja dan berusaha melenyapkannya dengan wajah seribu topengku yang lainnya. Aku membunuh diriku yang selalu ragu. Aku membunuh diriku yang gemetar tiap kali medan perang memanggil namaku tanpa gentar.
Aku membunuh diriku yang itu. Dan kini kuhidupkan aku yang baru. Aku yang akan membantai semua halang di depan muka, aku yang akan memenangkan pertarungan ini sejadi-jadinya.
Dulu mereka menganggapku bagai seekor peliharaan rumah yang manja, mereka salah. Aku seekor naga. Dan aku tidak akan menyerah.
Tidak sebelum di ujung taringku ada darah. Darah mereka.
— Apinja Anastasia
#maidenoffire
[Perihal Aruna, 10]
Aku tidak kembali, Aruna. Walau
kemarin kita bersua dan aku kembali
menatap mata yang dua purnama
sudah hampir hilang di jemala, aku
tidak kembali padamu.
Walau sempat riuh hati dan damai
jemari kerap kali membisik kata pulang,
dan seakan baskara bersolek lebih
indah dari biasanya, Aruna, aku tidak
kembali. Tidak sekarang. Tidak esok,
apa lagi lusa. Tidak tahu kapan.
Aku tidak kembali, Aruna. Sebab aku
menemukan aman dalam satu. Dan
jika aku kembali—satu menjadi dua;
aku kembali padamu dengan satu mata.
Aruna, rumahku memang masih padamu. Ranjangku masih
dekapmu. Lemariku masih kulitmu. Dan duniaku masih padamu. Tapi, tapi, tapi, tapi, lelah sudah aku bergelut
sendiri pada malam hari. Merindu
dan merapal doa sendu dengan harap
dikabulkan oleh yang Maha segala
pada malam itu juga. Aku egois, Aruna.
Aruna, aku memang tidak kembali padamu. Namun dalamku tidak akan
berpaling darimu.
Aruna, ada yang harus aku kerjakan
dengan syarat tidak mendengar kata
hati yang berteriak inginkan pulang.
Aruna, ini selamat tinggalku yang akan
kau sambung dengan selamat datangmu.
Semoga mengerti. Semoga bisa. Selamat tinggal.
— Luar Bumi.
#darkesthour
#tertandanama
Aku tidak kembali, Aruna. Walau
kemarin kita bersua dan aku kembali
menatap mata yang dua purnama
sudah hampir hilang di jemala, aku
tidak kembali padamu.
Walau sempat riuh hati dan damai
jemari kerap kali membisik kata pulang,
dan seakan baskara bersolek lebih
indah dari biasanya, Aruna, aku tidak
kembali. Tidak sekarang. Tidak esok,
apa lagi lusa. Tidak tahu kapan.
Aku tidak kembali, Aruna. Sebab aku
menemukan aman dalam satu. Dan
jika aku kembali—satu menjadi dua;
aku kembali padamu dengan satu mata.
Aruna, rumahku memang masih padamu. Ranjangku masih
dekapmu. Lemariku masih kulitmu. Dan duniaku masih padamu. Tapi, tapi, tapi, tapi, lelah sudah aku bergelut
sendiri pada malam hari. Merindu
dan merapal doa sendu dengan harap
dikabulkan oleh yang Maha segala
pada malam itu juga. Aku egois, Aruna.
Aruna, aku memang tidak kembali padamu. Namun dalamku tidak akan
berpaling darimu.
Aruna, ada yang harus aku kerjakan
dengan syarat tidak mendengar kata
hati yang berteriak inginkan pulang.
Aruna, ini selamat tinggalku yang akan
kau sambung dengan selamat datangmu.
Semoga mengerti. Semoga bisa. Selamat tinggal.
— Luar Bumi.
#darkesthour
#tertandanama
[Ramadantis, 08]
Ramadantis, aku menulis ini
di bawah gemerlap kartika dan
lembutnya sentuh kulit paha
Aku menulis ini seraya merapal
doa dengan harap dikabulkan
oleh yang Maha segala.
Waktu sudah bermain, Rama. Ia
menunjukkan aku segala yang ada
di buana. Anggara yang membara
jua alum yang mengulum.
Waktu sudah berjalan, Rama. Ia
menggandengku seakan ingin
aku berjalan lebih cepat dari biasanya.
Dan aku—bisa. Malah aku berlari
tanpa tengok kanan kiri.
Ramadantis, malam ini aku melepasmu.
Aku melepasmu dengan sungguh
yang tangguh tanpa keluh yang 'tak
dibutuh. Aku melepasmu dengan pelan
tanpa gesa yang akan membuatnya
melamban. Aku melepasmu dengan
embus napas lega—tidak ada sesal di
dada.
Rama, aku melepasmu bukan berarti
aku sudah tidak mencintaimu. Bukan
berarti kenang sudah hilang di kening.
Bukan berarti pulangku sudah tidak
terhalang palang. Bukan berarti hati
sudah merdeka tiap hari
Melainkan aku melepasmu karena
bahagiamu bukan padaku. Tawamu
lebih mekar kerap kali engkau dengan
juitamu. Senyummu mengembang
seakan ia tidak tahu cara pulang kecuali
pada mata wanita itu
Dan aku—siapa? Hanya perbatasan
ketika engkau mencari arah rumah
'tuk pulang dan merebah.
Rama, bukannya aku tidak ingin.
Malah sangat. Sangat ingin. Tapi
yang di sana—ada yang
pantas mendapat cintamu dengan lebih.
Sedang aku— setengah tetes dari
darahmu pun—tidak.
Semoga bahagia. Semoga semesta
memberi
yang disemogakan oleh jiwa.
Semoga saja. Semoga.
— Luar Bumi.
#darkesthour
Ramadantis, aku menulis ini
di bawah gemerlap kartika dan
lembutnya sentuh kulit paha
Aku menulis ini seraya merapal
doa dengan harap dikabulkan
oleh yang Maha segala.
Waktu sudah bermain, Rama. Ia
menunjukkan aku segala yang ada
di buana. Anggara yang membara
jua alum yang mengulum.
Waktu sudah berjalan, Rama. Ia
menggandengku seakan ingin
aku berjalan lebih cepat dari biasanya.
Dan aku—bisa. Malah aku berlari
tanpa tengok kanan kiri.
Ramadantis, malam ini aku melepasmu.
Aku melepasmu dengan sungguh
yang tangguh tanpa keluh yang 'tak
dibutuh. Aku melepasmu dengan pelan
tanpa gesa yang akan membuatnya
melamban. Aku melepasmu dengan
embus napas lega—tidak ada sesal di
dada.
Rama, aku melepasmu bukan berarti
aku sudah tidak mencintaimu. Bukan
berarti kenang sudah hilang di kening.
Bukan berarti pulangku sudah tidak
terhalang palang. Bukan berarti hati
sudah merdeka tiap hari
Melainkan aku melepasmu karena
bahagiamu bukan padaku. Tawamu
lebih mekar kerap kali engkau dengan
juitamu. Senyummu mengembang
seakan ia tidak tahu cara pulang kecuali
pada mata wanita itu
Dan aku—siapa? Hanya perbatasan
ketika engkau mencari arah rumah
'tuk pulang dan merebah.
Rama, bukannya aku tidak ingin.
Malah sangat. Sangat ingin. Tapi
yang di sana—ada yang
pantas mendapat cintamu dengan lebih.
Sedang aku— setengah tetes dari
darahmu pun—tidak.
Semoga bahagia. Semoga semesta
memberi
yang disemogakan oleh jiwa.
Semoga saja. Semoga.
— Luar Bumi.
#darkesthour
untuk celah yang merajuk dengan manja entah ingin diisi apa
janganlah kau menghantui dari waktu ke waktu
dan di ujung hari mengurungku seorang diri
mendesak ke sudut ruang
menjerat pikir dalam balada yang paling minor
dan memaksaku temui nirvana
untuk celah yang entah merongrong apa di keheningan isi kepala
berteriak tanpa suara
meraung tapi tak bergema
hanya menelisik telinga hingga mati rasa
tolong isi dirimu dengan senyum-senyum yang dirindu parasku
dan jangan lagi mengembara dengan sang malam
sampai kau terasing dalam nestapa
lalu diam-diam menjadikan jiwa sunyi bersemayam
tanpa aba-aba
tetiba saja;
mengindahkan kepergian bukanlah jalan pulang
katarsis bukanlah seperti ini
—ancilladiska, Tinggallah dalam Sadar
#dissays
janganlah kau menghantui dari waktu ke waktu
dan di ujung hari mengurungku seorang diri
mendesak ke sudut ruang
menjerat pikir dalam balada yang paling minor
dan memaksaku temui nirvana
untuk celah yang entah merongrong apa di keheningan isi kepala
berteriak tanpa suara
meraung tapi tak bergema
hanya menelisik telinga hingga mati rasa
tolong isi dirimu dengan senyum-senyum yang dirindu parasku
dan jangan lagi mengembara dengan sang malam
sampai kau terasing dalam nestapa
lalu diam-diam menjadikan jiwa sunyi bersemayam
tanpa aba-aba
tetiba saja;
mengindahkan kepergian bukanlah jalan pulang
katarsis bukanlah seperti ini
—ancilladiska, Tinggallah dalam Sadar
#dissays
Jika nelangsa membuatmu berpijak;
Jangan pergi...
Suatu saat liang pusaramu akan terbongkar dan membuatmu kembali, rehatkan pikiranmu sejenak yang membuat kau tenggelam dalam lautan kalut.
Suatu saat ode yang menghiasi purnama dan bakara akan membuatmu rindu pada sosok yang menemani harimu.
Kau adalah jagat raya yang kususun rapi dalam dimensiku, jangan porak-porandakan, jangan!
Lara, lara, lara
Isi keping mantikmu hanya lara
Yang sibuk memikirkan dia yang tak kunjung datang dalam hatimu;
Pulanglah, rehatkan pikiranmu!
Suatu saat—kau akan menemukan siapa yang benar-benar mencintaimu.
Jangan menyuruhku pergi,
Aku tunggu, pulanglah padaku
Hatiku adalah rumah untukmu kembali.
—ryligovera,
Ode menantikan kepulangan.
#Athensday
Jangan pergi...
Suatu saat liang pusaramu akan terbongkar dan membuatmu kembali, rehatkan pikiranmu sejenak yang membuat kau tenggelam dalam lautan kalut.
Suatu saat ode yang menghiasi purnama dan bakara akan membuatmu rindu pada sosok yang menemani harimu.
Kau adalah jagat raya yang kususun rapi dalam dimensiku, jangan porak-porandakan, jangan!
Lara, lara, lara
Isi keping mantikmu hanya lara
Yang sibuk memikirkan dia yang tak kunjung datang dalam hatimu;
Pulanglah, rehatkan pikiranmu!
Suatu saat—kau akan menemukan siapa yang benar-benar mencintaimu.
Jangan menyuruhku pergi,
Aku tunggu, pulanglah padaku
Hatiku adalah rumah untukmu kembali.
—ryligovera,
Ode menantikan kepulangan.
#Athensday
Hujan hari ini seolah bertandang membawa kabar:
Wahai puan, apa yang kaunanti itu ilusi.
Tuan yang kau damba tak pernah pula
mengenal kau. Ia sudah tersekap bahagia
pada puan nun jauh di sana.
Embus angin seolah ikut melempar cemoohan:
Tiada yang lebih bebal dari kau, wahai
puan yang cintanya bertepuk sebelah
tangan. Meniti waktu dengan menggandeng
semu, berharap tuan itu datang padahal
ia sudah jauh sekali beranjak pergi.
Derak dedaunan malam seolah tak mau tertinggal:
Berhentilah. Lantaran, seberapa lama
lagi yang sekadar mimpi kaujadikan
tambatan hati?
—Nanda F.
#monochromessheet
Wahai puan, apa yang kaunanti itu ilusi.
Tuan yang kau damba tak pernah pula
mengenal kau. Ia sudah tersekap bahagia
pada puan nun jauh di sana.
Embus angin seolah ikut melempar cemoohan:
Tiada yang lebih bebal dari kau, wahai
puan yang cintanya bertepuk sebelah
tangan. Meniti waktu dengan menggandeng
semu, berharap tuan itu datang padahal
ia sudah jauh sekali beranjak pergi.
Derak dedaunan malam seolah tak mau tertinggal:
Berhentilah. Lantaran, seberapa lama
lagi yang sekadar mimpi kaujadikan
tambatan hati?
—Nanda F.
#monochromessheet
Halaman kedua
Ternyata tak cukup satu saja
Aku masih perlu menuliskanmu
Beberapa bentuk kata
Tuan yang kini mungkin sudah bahagia
Munafik bila aku berkata
Bahwa hadirmu tak kunantikan
Bila tawamu tak kuharapkan
Pula candaanmu tak kurindukan
Kalau memang berkenan
Datanglah kapan-kapan
Seperti biasa dengan martabak
Sebagai kudapan
Bukan aku saja yang merindukan
Apa kau lupa dengan kawan-kawan?
Ah, rasa bersalah itu kembali naik ke permukaan
Setelah usai, mereka mempertanyakan
Kehadiranmu yang tak kunjung datang
Selama berbulan-bulan
Rasanya menyedihkan
Karena aku yang menjadi penyebab keretakan
Tuan, mari berdamai dengan pelan-pelan
Aku percaya waktu menyembuhkan
Maka akan kuberikan waktu selama dan senyaman yang kau butuhkan
#RiuhRedam
#HalamanHalamanSekat
Ternyata tak cukup satu saja
Aku masih perlu menuliskanmu
Beberapa bentuk kata
Tuan yang kini mungkin sudah bahagia
Munafik bila aku berkata
Bahwa hadirmu tak kunantikan
Bila tawamu tak kuharapkan
Pula candaanmu tak kurindukan
Kalau memang berkenan
Datanglah kapan-kapan
Seperti biasa dengan martabak
Sebagai kudapan
Bukan aku saja yang merindukan
Apa kau lupa dengan kawan-kawan?
Ah, rasa bersalah itu kembali naik ke permukaan
Setelah usai, mereka mempertanyakan
Kehadiranmu yang tak kunjung datang
Selama berbulan-bulan
Rasanya menyedihkan
Karena aku yang menjadi penyebab keretakan
Tuan, mari berdamai dengan pelan-pelan
Aku percaya waktu menyembuhkan
Maka akan kuberikan waktu selama dan senyaman yang kau butuhkan
#RiuhRedam
#HalamanHalamanSekat
dibalik indahnya senja
ada baskara yang luput
bersembunyi tuk
merehatkan dirinya
seperti aku yang ingin
sembunyi dari semesta
tuk merehatkan hati
yang makin menganga
kian membuat luka yang amat
besar hingga bernanah
kalang kabut pun lena
dan terbuka tuk yang anyar
ini menyulitkan hati
ada trauma mendalam
merasuki tubuhku
irisan yang lama kutikam-tikam
akhirnya tumbuh kembali
lara dalam mantikku
pudar dilahap waktu
ini tanda jatuh cinta?
oh, Gusti
lakon apa yang kau beri?
inikah jeda kutunggu-tunggu?
tidak tidak tidak
ada semesta
masuk dalam netranya
yang menusuk kalbuku
aku jatuh cinta lagi
trauma menjelma jiwa
mengatakan jatuh hati
itu sebuah hal fatal
hati tidak bisa berhati-hati
karena dirimu sudah memasuki hati
jatuh hati sangat menyakitkan
jatuh hati membuat patah hati
semua ilusi tentang hati terbantah
mencoba melupa tak bisa
mencoba membuka hati
Sangat menyulitkan
untuk mencoba membuka lagi
hati ini berkata tak sanggup
ia sudah rapuh dan hancur
aku berhenti jatuh hati
— pianeta x ryligovera,
Lingsir.
#kuncikata
#Athensday
ada baskara yang luput
bersembunyi tuk
merehatkan dirinya
seperti aku yang ingin
sembunyi dari semesta
tuk merehatkan hati
yang makin menganga
kian membuat luka yang amat
besar hingga bernanah
kalang kabut pun lena
dan terbuka tuk yang anyar
ini menyulitkan hati
ada trauma mendalam
merasuki tubuhku
irisan yang lama kutikam-tikam
akhirnya tumbuh kembali
lara dalam mantikku
pudar dilahap waktu
ini tanda jatuh cinta?
oh, Gusti
lakon apa yang kau beri?
inikah jeda kutunggu-tunggu?
tidak tidak tidak
ada semesta
masuk dalam netranya
yang menusuk kalbuku
aku jatuh cinta lagi
trauma menjelma jiwa
mengatakan jatuh hati
itu sebuah hal fatal
hati tidak bisa berhati-hati
karena dirimu sudah memasuki hati
jatuh hati sangat menyakitkan
jatuh hati membuat patah hati
semua ilusi tentang hati terbantah
mencoba melupa tak bisa
mencoba membuka hati
Sangat menyulitkan
untuk mencoba membuka lagi
hati ini berkata tak sanggup
ia sudah rapuh dan hancur
aku berhenti jatuh hati
— pianeta x ryligovera,
Lingsir.
#kuncikata
#Athensday
Dalam ratapan dimana sejuta rindu kan selalu menyertai di setiap momen
Menggandeng semua kesan larut dalam iringan canda tawa hingga tiada lagi sisa pada dasar terdalam
Pada awal temu yang saat itu masih belum mengenal
Namun sekarang layaknya sebuah sahabat yang telah mengental
Menjadi ada walau pada akhirnya kita kan tiada
Menjelmah awan kian memudar secara perlahan
Sementara derai air mata terus mengalir keluar membasahi netra
Terus mengundang lara pada setiap saatnya
Mengantar puan pada decit di kota tua
Berlabu pada antabranta dimana kami dapat mengabdi hingga menua
Menunggu kepulangan yang mungkin hanya ekspetasi belaka
Berharap pada semesta tuk hadir dalam tiap waktu
Memohon harapan kami pada puan yang kini berada disana nantinya
"Takkan Melupa, Takkan Berpisah..."
Seorang puan yang telah kami anggap sebagai sosok guru yang kami sanjung dan juga sebagai teman yang membawa gelak tawa diantaranya
Menggandeng semua kesan larut dalam iringan canda tawa hingga tiada lagi sisa pada dasar terdalam
Pada awal temu yang saat itu masih belum mengenal
Namun sekarang layaknya sebuah sahabat yang telah mengental
Menjadi ada walau pada akhirnya kita kan tiada
Menjelmah awan kian memudar secara perlahan
Sementara derai air mata terus mengalir keluar membasahi netra
Terus mengundang lara pada setiap saatnya
Mengantar puan pada decit di kota tua
Berlabu pada antabranta dimana kami dapat mengabdi hingga menua
Menunggu kepulangan yang mungkin hanya ekspetasi belaka
Berharap pada semesta tuk hadir dalam tiap waktu
Memohon harapan kami pada puan yang kini berada disana nantinya
"Takkan Melupa, Takkan Berpisah..."
Seorang puan yang telah kami anggap sebagai sosok guru yang kami sanjung dan juga sebagai teman yang membawa gelak tawa diantaranya
Langganan:
Postingan (Atom)