Rabu, 12 Februari 2020

Dalam lintas antara
hinggap yang lepas
Dan luka yang pantas

Terkapar diujung waktu,
Jauh dari piara
Akan detik
Yang kerap membeku

Menjalin senyap
Merawat harap
Tempat tubuh
Meretas lumpuh
Ingatan yang masih butuh
Pelukan yang telah runtuh
Separuh yang tak lagi utuh

Menganga dan berdarah
Menjadi pernah
Pada akhirnya tetap punah

Tersembelih oleh sedih
Pedih lebih terkoyak perih
Angan mendaki
Langit pun runtuh
Patah pecah terbelah
Amarah parah semangat
Rebah terburai darah
Triliunan impian punah
Kita menyerah kalah laut pasrah

Terpukul oleh kenyataan
Dari masa-masa gelap
Yang ditelantarkan sunyi

Liah menjelmah
Dalam celcius rendah
Mencium epidermis kering
Ditumbuhi riak tangis

Ilalang subur di ingatan
Bunga mekar
Di telungkup tangan
Pohon-pohon rimbun
Di batas kenangan

Bercengkrama dengan akar
Dibawah tanah tak berpencar
Tenggelam ingar-bingar
Hidup tanpa pendengar
Hidup bukan untuk didengar

Harapan meruncingkan jarumnya
Bekerja menyulam takdir
Bersama kesalahan
Yang sedang diperbaiki

Berdetak dalam detik
Berontak dalam cekik

Kusut dan berantakan
Satu persatu getir tumbuh
Di serambi
Menyekat sirkulasi
Mengepung bagai teralis
Di sekujur pulmonalis

Menjadikan nya
Celah di arteri
Yang mengalir di sekujur diri
Membuat nya merdu
Bagai irama merekah imaji

Menghidupi denyut kecewa
Mengalun dalam vena
Yang enggan mengalirkan darah
Menghentikan laju udara
Dalam sekat paru-paru
Yang terpecah

Ramai hanya puing
mahkota bisu
Tempat jiwa menitip raga
Menjaga yang terjaga
Mengasihi yang tega
Mendamba yang suci
Dalam jelaga

Merekat patah
Mengikat langkah
Balut rangka
Bergelut duka
Berdamai dengan andai
Menerima yang kuterima
Mengemas tanpa memelas

Pendar yang mengoyak sadar
Mencekik yang tercabik
Menyiksa yang merasa
Menempa yang telah hampa

Dan disinilah aku!

Hingga kota ini
Merengkuh pagi dengan dua kenyataan
Udara semakin dingin
Dan hadirku
Yang kian memudar

Senin, 18 November 2019


FANA DI UJUNG SENJA
Karya : Wim Febrian Syahputra
            Pada pelataran peron nan usang itu, aku masih duduk seperti sedia kala. Sembari sesekali melihat arloji yang terpasang dipergelangan tangan. Dan sekarang hanyalah aku, yang masih sendiri yang hanya ditemani remang pijar. Bersama rona jingga yang perlahan surut dari cakrawala, sejatinya senja ini hanya pengisi waktu luang bagi mereka yang pada akhirnya tidak pernah menganggap keberadaan senja itu sendiri. Satu-persatu kulihat hanya lewat dan berpapasan namun perhatian mereka tetap terfokus pada layar ponsel masing-masing. “Memang dasar manusia, makhluk sosial tanpa sosial!” kalimat itulah yang pantas disodorkan ke mereka.
            Aku ingat betul saat senja tiga tahun yang lalu. Saat itu, senja membawaku ke sudut terpencil kota. Mengarahkan netraku pada seorang gelandangan kumuh, yang tengah mengais makanan di tempat sampah di samping restoran makanan cepat saji. Gelandangan itu mengorek dan membonkar sampah layaknya seekor anjing yang kelaparan. Serentak saat itu juga pegawai restoran keluar dengan sapu yang siap sedia berada ditangannya. Dengan raut masam, pegawai restoran membentak mengusir gelandangan itu. Bukan hanya itu saja, namun tendangan dan pukulan juga disodorkan terhadapnya.
            Memang sangat keras hidup di ibu kota. Kejamnya pun melebihi seorang ibu tiri. Jika kita tidak tangguh, maka kita yang selanjutnya menjadi kudapan makan malam. Pada dasarnya semua hanyalah eksistensi belaka. Dimana semua saling berlomba hanya untuk mengejar sebuah popularitas saja. Pergi ke kedai kopi, memesan secangkir kopi, lalu memfoto untuk kemudian dipublikasikan. Tak lupa dengan sedikit caption “senja” agar kekinian dan tenar di instagram. Mereka benar-benar lupa dengan arti senja itu sendiri.
            Tak terasa lima belas menit berlalu mendengarkan senandika-ku. Namun tak kunjung satupun gerbong yang terlihat dari kejauhan. Semenjana yang lainnya terus berdatangan dan berdesak memenuhi stasiun tua itu. Menahan segala penat seharian beraktifitas dan apabila disenggol sedikit saja, maka amarah akan langsung meluber.
            Senja yang saat itu tidak dapat menahan diri lebih lama lagi. Perlahan menyurut dan siluet tiang listrik serta palang pembatas semakin sempurna terbentuk. Bersama bias keemasan yang mengkaburkan netra menciptakan sebuah keindahan semu. Wajar bila sewaktu-waktu keindahan akan lenyap bukan? Seperti layaknya sebuah permen karet yang suatu saat manisnya juga akan hilang. Yang pada saat itu juga, senja akan dibuang karena kehilangan keindahannya.
            Satu hal yang ku suka dari senja, tapi satu hal itu juga yang ku benci darinya. Berusaha ingin mengingat tapi disisi lain aku berusaha untuk melupakan. Terjebak dalam situasi konyol seperti ini membuatku putus asa. Padahal masih ada kemungkinan yang dapat ku putuskan walau pada akhirnya akan menjadi sia-sia.
            “Sudah cukup! Aku lelah!”
            “Kamu itu tidak berguna!”
            “Kamu memang tidak pantas!”
            “Baru segitu doang.”
            “Kamu lemah!”
Semua kalimat itu terus masuk dan mendesak pikiran. Segala perspektif yang mereka nilai salah, namun tidak memperhatikan dari segi lainnya. Mereka yang hanya dapat menilai baik buruknya tanpa peduli kebenarannya.
            Aku muak bila harus berkeluh-resah pada setiap senja yang menghampiri. Seakan tidak ada yang mencoba untuk memahami setiap kata-kata ku. Maka aku berhenti mendamba kata-kata tersebut. Kata-kata yang tidak ingin aku tambahkan lagi. Dan berakhir menjadi sebuah kata-kata. Kata yang bilamana diubah sedikit akan mengubah arti, dan arti yang diubah akan mengubah makna.
            Maka aku putuskan pada senja itu juga. Beritikad sembari membulatkan tekad. Toh, bumi sudah tua dan rentah. Mereka juga tidak ada yang peduli. Bagaimana bisa peduli? Sedangkan pikiran mereka pada saat itu masih rapat terkunci dan enggan membuka satu sama lain.
            Lama ku berdebat dengan pikiran ku sendiri, kereta yang ditunggu terlihat dan palang perlahan menutup. Aku beranjak dari kursi besi itu dan berdiri di tepi palang. Kereta melaju semakin cepat dan aku memutuskan untuk menjatuhkan langkah terakhirku saat itu juga.
            Seketika kebisingan disekitar lengang. Senja yang saat itu menjadi pusat perhatian tergantikan oleh decit keras kereta api yang tiba-tiba mengerem mendadak setelah melindas tubuh seorang pria paruh baya yang pada senja itu merasa telah kehilangan segalanya. Termasuk pada saat itu senja menjadi saksi bisu dari peradaban manusia. Menjadi fana pada ujung senja yang indahnya hanya sementara.

Minggu, 17 November 2019


FANA DI UJUNG SENJA [TEASER]
Karya : Wim Febrian Syahputra
            Pada pelataran peron nan usang itu, semua masih sama dan aku masih duduk seperti sedia kala. Sambil sesekali melirik arloji yang terpasang di pergelangan tangan dan perlahan rona jingga itu tenggelam dari cakrawala. Yang ada sekarang hanya lah aku yang ditemani remang pijar. Dan sekarang hanya lah aku yang masih duduk termangun dilalui lalu lalang kesibukan. Berusaha mengingat dan melupakan disaat yang bersamaan. Memang sedikit konyol bagiku untuk situasi yang sekarang. Sendiri, berusaha menjauh dari keramaian. Merasa putus asa dari segala kemungkinan yang mungkin masih dapat kuputuskan. Namun itu hanyalah sia-sia bagiku.
            Tiga tahun lamanya semenjak aku merasa benar-benar terpuruk. Ketika yang lain hanya dapat melihat tanpa perlu peduli sedikitpun. Bahkan kata-kata sekalipun tak bisa menepis acuh mereka yang telah duduk di singgasana. Yang ada hanyalah mereka sibuk akan sosial media tersendiri dan sebagian hanya mampir ke kedai kopi untuk sekedar mempublikasikan kekinian mereka. “ya, mereka memang sudah tak peduli lagi sekarang!” kalimat itu memang pantas disodorkan ke manusia zaman sekarang yang lupa pada peradaban nya.
            Aku yang saat itu ingat betul pada sudut kota, saat senja telah absen lebih awal dari biasanya, seorang gelandangan tengah mengais makanan di tempat sampah disamping restoran makanan cepat saji. Membongkar dan mengorek lebih dalam, layaknya seekor anjing. Bahkan sempat kulihat pegawai restorang yang saat itupun juga keluar dari restoran dan mengusir gelandangan itu secara kasar. Bukan hanya ucapan namun tendangan juga dilontarkan dari pegawai restoran itu.
 Memang hidup di ibu kota lebih kejam melebihi ibu tiri. Jika kita tidak tangguh, maka kita yang akan menjadi kudapan sebagai makanan pembuka. Senja kini semakin bersahabat dengan orang disekitarnya. Cahaya yang indah itu seakan mengkaburkan kedua netra. Namun tak selamanya yang indah itu akan terus bertahan bukan? Bahkan permen karet pun pada akhirnya akan kehilangan manisnya secara perlahan. Jujur saja ketika aku sudah muak dengan senja. Terlebih saat senja itu tenggelam lalu lepas tangan begitu saja.
Lima belas menit berlalu begitu cepat sejak aku menunggu di tepi peron. Hanya untuk memberanikan diri pun masih terasa belum siap sama sekali. Beberapa orang terus berdatangan dan menunggu satu sama lain, menanti sebuah gerbong yang sejak tadi belum terlihat. Padahal raga telah merontah menahan penat dari aktifitas seharian.

Rabu, 23 Oktober 2019

[Pada ketidakmungkinan]

Aku mecintaimu bagai batu mengalir di hilir
arus menghanyutkan; tak gentar perjuangan
lantunan syair dari ikan kecil temani kesepian
dahan pohon yang gugur disepanjang aliran

Aku mencintaimu bagai teduhnya hutan
seperti rekah jamur pada kelembapan
pepohonan rindang seperti tumpuan kehidupan
atau sang raja hutan mati akibat disembah rakyatnya

Aku mencintaimu bagai luas daratan
aspal nan bersaing ketinggian pada pertokoan
udara bersitegang akibat jadi rebutan hirupan
kaum pinggiran mati tak bisa menghidupi mimpi

Isi kepala seketika meledak sebuah tanya
segala ketidakmungkinan penuhi kehidupan
dianggap mati berani! anak tiri disudahi
apa perbedaan justru dianggap kebutuhan?
Entah sampai kapan keajaiban!?

Subur dibiar gugur melebur
sebaliknya, mati junjung sampai nanti.
O maha Penghidupan,
apa jalan dan kehendak-Mu selanjutnya?

Lalu cinta terlanjur kandas usia
apa lebur lagi si nestapa dengan derita?
pertanyaan akan sama untukmu, Nona.

— mesinketik

📷: Google
Jarak bukan sekadar hitungan angka.
Sebab 564 kilometer dapat menjadi begitu
jauh, jika seseorang di sana, tak pernah
memberi respons positif setiap kali kita
menawarkannya sebuah pertemuan.

Namun 564 kilometer bisa menjadi
begitu dekat, jika seseorang di sana,
telah memberi semacam sinyal,
bahwa ia teramat menantikan pertemuan.

Jarak bukan sekadar hitungan angka,
ia pun melibatkan hitungan rasa.

—Ars
#Arstories
[Lukisan Dirimu di Langit]

Aku ingat betul tiap inchi dari raut wajahmu, bagaimana kerut di pipimu itu terbentuk di kala kau tersenyum, warna kelam di bawah kelopak matamu itu, lengkungan bulu mata yang indah, dan setiap rasa yang tersirat di baliknya.

Aku juga masih ingat bagaimana caramu berfikir, caramu berintonasi, caramu berjalan, dan bagaimana caramu mencintaiku. Semuanya terekam jelas layaknya film dokumenter sejarah yang meninggalkan rasa perih. Aku ingat bagaimana diri ini tak pernah menyerah untuk memperjuangkanmu.

Tapi mau bagaimana lagi? Realita tak sesuai ekspektasi. Kita pernah bersama dan bersanding begitu kuat, namun sekarang semuanya rasanya mendung. Langit rasanya lupa untuk menambahkan warna kuning dan birunya. Semuanya terasa kelabu, sendu, dan aku yang rindu.

Dulu kita meratapi langit dan mentari berduaan. Mencoba menunjuk-nunjuk kesana kemari perihal bentuk apa yang terlintas ketika melihatnya. Namun sekarang aku tak bisa berimajinasi lagi, karena tiap kali aku melihat langit, ia melukiskan dirimu di sana.

Entah kamu dimana, dengan siapa, baik-baik saja atau tidak, bahagia atau engga, aku sering menitipkan doaku pada langit. Karena antara kau dan aku berada di bawah langit yang sama, cuman kali ini perasaan kita yang tak lagi sama.

ー Detra
#detrathoughts
Dan aku masih mengingatnya, kawan
Saat laskar rakyat berpulang ke rumahnya
Mereka dulu duduk di atapnya berselesa
Pekik suara dan panji-panji sakral dikobarkan
Memohon sekali lagi untuk janji yang tertunda

Selepas itu pun tiada yang benar-benar tahu
Kapan keadilan yang katanya murah harganya
Bisa dimiliki mereka yang beratapkan langit merah
Dan para muda bestari yang tak henti-hentinya
Memurnikan niat demi masa depan bangsa

Agen-agen perubahan yang teramat tangguh
Wajah mereka terlukis pada bendera-bendera
Yang tengah membentangkan sayap dwiwarnanya
Di sekolah-sekolah, kantor-kantor, dan trotoar jalan

Kini alarm demokrasi berbunyi, mereka pun menanggapi
Satu per satu mereka maju, langit pun ikut jadi saksi
Tujuh tuntutan yang dilaungkan pada nara-nara tuli
Tukang sampah, buruh tani, juru berita, ikut mengamini

Aku bergetar melihat bendera itu lagi, kawan
Seorang pemuda membentangkannya kuat-kuat
Di depan kisi-kisi pagar Taman Kanak-Kanak itu
Ia dan seribu pemuda lainnya hendak berpulang
Meski mata sudah sayu dan kaki nyaris roboh
Begitu meriah sambutannya, para penjaga pun
Tak segan-segan meludahi gegap gempitanya
Dan bendera itu dengan beratus liter tembakan air
Seolah melupakan kobaran api di tanah seberang

Kawan, kita sudah berjuang sehormat-hormatnya
Dan tak diterima di rumah, bagai gelandangan
Lalu, di mana lagi kita akan berpulang?

— Lintang Punarbawa
#Nozdorevelation