Minggu, 17 November 2019


FANA DI UJUNG SENJA [TEASER]
Karya : Wim Febrian Syahputra
            Pada pelataran peron nan usang itu, semua masih sama dan aku masih duduk seperti sedia kala. Sambil sesekali melirik arloji yang terpasang di pergelangan tangan dan perlahan rona jingga itu tenggelam dari cakrawala. Yang ada sekarang hanya lah aku yang ditemani remang pijar. Dan sekarang hanya lah aku yang masih duduk termangun dilalui lalu lalang kesibukan. Berusaha mengingat dan melupakan disaat yang bersamaan. Memang sedikit konyol bagiku untuk situasi yang sekarang. Sendiri, berusaha menjauh dari keramaian. Merasa putus asa dari segala kemungkinan yang mungkin masih dapat kuputuskan. Namun itu hanyalah sia-sia bagiku.
            Tiga tahun lamanya semenjak aku merasa benar-benar terpuruk. Ketika yang lain hanya dapat melihat tanpa perlu peduli sedikitpun. Bahkan kata-kata sekalipun tak bisa menepis acuh mereka yang telah duduk di singgasana. Yang ada hanyalah mereka sibuk akan sosial media tersendiri dan sebagian hanya mampir ke kedai kopi untuk sekedar mempublikasikan kekinian mereka. “ya, mereka memang sudah tak peduli lagi sekarang!” kalimat itu memang pantas disodorkan ke manusia zaman sekarang yang lupa pada peradaban nya.
            Aku yang saat itu ingat betul pada sudut kota, saat senja telah absen lebih awal dari biasanya, seorang gelandangan tengah mengais makanan di tempat sampah disamping restoran makanan cepat saji. Membongkar dan mengorek lebih dalam, layaknya seekor anjing. Bahkan sempat kulihat pegawai restorang yang saat itupun juga keluar dari restoran dan mengusir gelandangan itu secara kasar. Bukan hanya ucapan namun tendangan juga dilontarkan dari pegawai restoran itu.
 Memang hidup di ibu kota lebih kejam melebihi ibu tiri. Jika kita tidak tangguh, maka kita yang akan menjadi kudapan sebagai makanan pembuka. Senja kini semakin bersahabat dengan orang disekitarnya. Cahaya yang indah itu seakan mengkaburkan kedua netra. Namun tak selamanya yang indah itu akan terus bertahan bukan? Bahkan permen karet pun pada akhirnya akan kehilangan manisnya secara perlahan. Jujur saja ketika aku sudah muak dengan senja. Terlebih saat senja itu tenggelam lalu lepas tangan begitu saja.
Lima belas menit berlalu begitu cepat sejak aku menunggu di tepi peron. Hanya untuk memberanikan diri pun masih terasa belum siap sama sekali. Beberapa orang terus berdatangan dan menunggu satu sama lain, menanti sebuah gerbong yang sejak tadi belum terlihat. Padahal raga telah merontah menahan penat dari aktifitas seharian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar