Senin, 18 November 2019


FANA DI UJUNG SENJA
Karya : Wim Febrian Syahputra
            Pada pelataran peron nan usang itu, aku masih duduk seperti sedia kala. Sembari sesekali melihat arloji yang terpasang dipergelangan tangan. Dan sekarang hanyalah aku, yang masih sendiri yang hanya ditemani remang pijar. Bersama rona jingga yang perlahan surut dari cakrawala, sejatinya senja ini hanya pengisi waktu luang bagi mereka yang pada akhirnya tidak pernah menganggap keberadaan senja itu sendiri. Satu-persatu kulihat hanya lewat dan berpapasan namun perhatian mereka tetap terfokus pada layar ponsel masing-masing. “Memang dasar manusia, makhluk sosial tanpa sosial!” kalimat itulah yang pantas disodorkan ke mereka.
            Aku ingat betul saat senja tiga tahun yang lalu. Saat itu, senja membawaku ke sudut terpencil kota. Mengarahkan netraku pada seorang gelandangan kumuh, yang tengah mengais makanan di tempat sampah di samping restoran makanan cepat saji. Gelandangan itu mengorek dan membonkar sampah layaknya seekor anjing yang kelaparan. Serentak saat itu juga pegawai restoran keluar dengan sapu yang siap sedia berada ditangannya. Dengan raut masam, pegawai restoran membentak mengusir gelandangan itu. Bukan hanya itu saja, namun tendangan dan pukulan juga disodorkan terhadapnya.
            Memang sangat keras hidup di ibu kota. Kejamnya pun melebihi seorang ibu tiri. Jika kita tidak tangguh, maka kita yang selanjutnya menjadi kudapan makan malam. Pada dasarnya semua hanyalah eksistensi belaka. Dimana semua saling berlomba hanya untuk mengejar sebuah popularitas saja. Pergi ke kedai kopi, memesan secangkir kopi, lalu memfoto untuk kemudian dipublikasikan. Tak lupa dengan sedikit caption “senja” agar kekinian dan tenar di instagram. Mereka benar-benar lupa dengan arti senja itu sendiri.
            Tak terasa lima belas menit berlalu mendengarkan senandika-ku. Namun tak kunjung satupun gerbong yang terlihat dari kejauhan. Semenjana yang lainnya terus berdatangan dan berdesak memenuhi stasiun tua itu. Menahan segala penat seharian beraktifitas dan apabila disenggol sedikit saja, maka amarah akan langsung meluber.
            Senja yang saat itu tidak dapat menahan diri lebih lama lagi. Perlahan menyurut dan siluet tiang listrik serta palang pembatas semakin sempurna terbentuk. Bersama bias keemasan yang mengkaburkan netra menciptakan sebuah keindahan semu. Wajar bila sewaktu-waktu keindahan akan lenyap bukan? Seperti layaknya sebuah permen karet yang suatu saat manisnya juga akan hilang. Yang pada saat itu juga, senja akan dibuang karena kehilangan keindahannya.
            Satu hal yang ku suka dari senja, tapi satu hal itu juga yang ku benci darinya. Berusaha ingin mengingat tapi disisi lain aku berusaha untuk melupakan. Terjebak dalam situasi konyol seperti ini membuatku putus asa. Padahal masih ada kemungkinan yang dapat ku putuskan walau pada akhirnya akan menjadi sia-sia.
            “Sudah cukup! Aku lelah!”
            “Kamu itu tidak berguna!”
            “Kamu memang tidak pantas!”
            “Baru segitu doang.”
            “Kamu lemah!”
Semua kalimat itu terus masuk dan mendesak pikiran. Segala perspektif yang mereka nilai salah, namun tidak memperhatikan dari segi lainnya. Mereka yang hanya dapat menilai baik buruknya tanpa peduli kebenarannya.
            Aku muak bila harus berkeluh-resah pada setiap senja yang menghampiri. Seakan tidak ada yang mencoba untuk memahami setiap kata-kata ku. Maka aku berhenti mendamba kata-kata tersebut. Kata-kata yang tidak ingin aku tambahkan lagi. Dan berakhir menjadi sebuah kata-kata. Kata yang bilamana diubah sedikit akan mengubah arti, dan arti yang diubah akan mengubah makna.
            Maka aku putuskan pada senja itu juga. Beritikad sembari membulatkan tekad. Toh, bumi sudah tua dan rentah. Mereka juga tidak ada yang peduli. Bagaimana bisa peduli? Sedangkan pikiran mereka pada saat itu masih rapat terkunci dan enggan membuka satu sama lain.
            Lama ku berdebat dengan pikiran ku sendiri, kereta yang ditunggu terlihat dan palang perlahan menutup. Aku beranjak dari kursi besi itu dan berdiri di tepi palang. Kereta melaju semakin cepat dan aku memutuskan untuk menjatuhkan langkah terakhirku saat itu juga.
            Seketika kebisingan disekitar lengang. Senja yang saat itu menjadi pusat perhatian tergantikan oleh decit keras kereta api yang tiba-tiba mengerem mendadak setelah melindas tubuh seorang pria paruh baya yang pada senja itu merasa telah kehilangan segalanya. Termasuk pada saat itu senja menjadi saksi bisu dari peradaban manusia. Menjadi fana pada ujung senja yang indahnya hanya sementara.

Minggu, 17 November 2019


FANA DI UJUNG SENJA [TEASER]
Karya : Wim Febrian Syahputra
            Pada pelataran peron nan usang itu, semua masih sama dan aku masih duduk seperti sedia kala. Sambil sesekali melirik arloji yang terpasang di pergelangan tangan dan perlahan rona jingga itu tenggelam dari cakrawala. Yang ada sekarang hanya lah aku yang ditemani remang pijar. Dan sekarang hanya lah aku yang masih duduk termangun dilalui lalu lalang kesibukan. Berusaha mengingat dan melupakan disaat yang bersamaan. Memang sedikit konyol bagiku untuk situasi yang sekarang. Sendiri, berusaha menjauh dari keramaian. Merasa putus asa dari segala kemungkinan yang mungkin masih dapat kuputuskan. Namun itu hanyalah sia-sia bagiku.
            Tiga tahun lamanya semenjak aku merasa benar-benar terpuruk. Ketika yang lain hanya dapat melihat tanpa perlu peduli sedikitpun. Bahkan kata-kata sekalipun tak bisa menepis acuh mereka yang telah duduk di singgasana. Yang ada hanyalah mereka sibuk akan sosial media tersendiri dan sebagian hanya mampir ke kedai kopi untuk sekedar mempublikasikan kekinian mereka. “ya, mereka memang sudah tak peduli lagi sekarang!” kalimat itu memang pantas disodorkan ke manusia zaman sekarang yang lupa pada peradaban nya.
            Aku yang saat itu ingat betul pada sudut kota, saat senja telah absen lebih awal dari biasanya, seorang gelandangan tengah mengais makanan di tempat sampah disamping restoran makanan cepat saji. Membongkar dan mengorek lebih dalam, layaknya seekor anjing. Bahkan sempat kulihat pegawai restorang yang saat itupun juga keluar dari restoran dan mengusir gelandangan itu secara kasar. Bukan hanya ucapan namun tendangan juga dilontarkan dari pegawai restoran itu.
 Memang hidup di ibu kota lebih kejam melebihi ibu tiri. Jika kita tidak tangguh, maka kita yang akan menjadi kudapan sebagai makanan pembuka. Senja kini semakin bersahabat dengan orang disekitarnya. Cahaya yang indah itu seakan mengkaburkan kedua netra. Namun tak selamanya yang indah itu akan terus bertahan bukan? Bahkan permen karet pun pada akhirnya akan kehilangan manisnya secara perlahan. Jujur saja ketika aku sudah muak dengan senja. Terlebih saat senja itu tenggelam lalu lepas tangan begitu saja.
Lima belas menit berlalu begitu cepat sejak aku menunggu di tepi peron. Hanya untuk memberanikan diri pun masih terasa belum siap sama sekali. Beberapa orang terus berdatangan dan menunggu satu sama lain, menanti sebuah gerbong yang sejak tadi belum terlihat. Padahal raga telah merontah menahan penat dari aktifitas seharian.