FANA DI UJUNG SENJA
Karya : Wim Febrian Syahputra
Pada pelataran peron nan usang itu,
aku masih duduk seperti sedia kala. Sembari sesekali melihat arloji yang
terpasang dipergelangan tangan. Dan sekarang hanyalah aku, yang masih sendiri
yang hanya ditemani remang pijar. Bersama rona jingga yang perlahan surut dari
cakrawala, sejatinya senja ini hanya pengisi waktu luang bagi mereka yang pada
akhirnya tidak pernah menganggap keberadaan senja itu sendiri. Satu-persatu
kulihat hanya lewat dan berpapasan namun perhatian mereka tetap terfokus pada
layar ponsel masing-masing. “Memang dasar manusia, makhluk sosial tanpa sosial!”
kalimat itulah yang pantas disodorkan ke mereka.
Aku ingat betul saat senja tiga
tahun yang lalu. Saat itu, senja membawaku ke sudut terpencil kota. Mengarahkan
netraku pada seorang gelandangan kumuh, yang tengah mengais makanan di tempat
sampah di samping restoran makanan cepat saji. Gelandangan itu mengorek dan
membonkar sampah layaknya seekor anjing yang kelaparan. Serentak saat itu juga
pegawai restoran keluar dengan sapu yang siap sedia berada ditangannya. Dengan raut
masam, pegawai restoran membentak mengusir gelandangan itu. Bukan hanya itu
saja, namun tendangan dan pukulan juga disodorkan terhadapnya.
Memang sangat keras hidup di ibu
kota. Kejamnya pun melebihi seorang ibu tiri. Jika kita tidak tangguh, maka
kita yang selanjutnya menjadi kudapan makan malam. Pada dasarnya semua hanyalah
eksistensi belaka. Dimana semua saling berlomba hanya untuk mengejar sebuah
popularitas saja. Pergi ke kedai kopi, memesan secangkir kopi, lalu memfoto
untuk kemudian dipublikasikan. Tak lupa dengan sedikit caption “senja” agar kekinian dan tenar di
instagram. Mereka benar-benar lupa dengan arti senja itu sendiri.
Tak terasa lima belas menit berlalu
mendengarkan senandika-ku. Namun tak kunjung satupun gerbong yang terlihat dari
kejauhan. Semenjana yang lainnya terus berdatangan dan berdesak memenuhi
stasiun tua itu. Menahan segala penat seharian beraktifitas dan apabila
disenggol sedikit saja, maka amarah akan langsung meluber.
Senja yang saat itu tidak dapat
menahan diri lebih lama lagi. Perlahan menyurut dan siluet tiang listrik serta
palang pembatas semakin sempurna terbentuk. Bersama bias keemasan yang
mengkaburkan netra menciptakan sebuah keindahan semu. Wajar bila sewaktu-waktu
keindahan akan lenyap bukan? Seperti layaknya sebuah permen karet yang suatu
saat manisnya juga akan hilang. Yang pada saat itu juga, senja akan dibuang
karena kehilangan keindahannya.
Satu hal yang ku suka dari senja,
tapi satu hal itu juga yang ku benci darinya. Berusaha ingin mengingat tapi
disisi lain aku berusaha untuk melupakan. Terjebak dalam situasi konyol seperti
ini membuatku putus asa. Padahal masih ada kemungkinan yang dapat ku putuskan
walau pada akhirnya akan menjadi sia-sia.
“Sudah
cukup! Aku lelah!”
“Kamu
itu tidak berguna!”
“Kamu
memang tidak pantas!”
“Baru
segitu doang.”
“Kamu
lemah!”
Semua
kalimat itu terus masuk dan mendesak pikiran. Segala perspektif yang mereka
nilai salah, namun tidak memperhatikan dari segi lainnya. Mereka yang hanya
dapat menilai baik buruknya tanpa peduli kebenarannya.
Aku muak bila harus berkeluh-resah
pada setiap senja yang menghampiri. Seakan tidak ada yang mencoba untuk memahami
setiap kata-kata ku. Maka aku berhenti mendamba kata-kata tersebut. Kata-kata
yang tidak ingin aku tambahkan lagi. Dan berakhir menjadi sebuah kata-kata. Kata
yang bilamana diubah sedikit akan mengubah arti, dan arti yang diubah akan
mengubah makna.
Maka aku putuskan pada senja itu
juga. Beritikad sembari membulatkan tekad. Toh, bumi sudah tua dan rentah. Mereka
juga tidak ada yang peduli. Bagaimana bisa peduli? Sedangkan pikiran mereka
pada saat itu masih rapat terkunci dan enggan membuka satu sama lain.
Lama ku berdebat dengan pikiran ku
sendiri, kereta yang ditunggu terlihat dan palang perlahan menutup. Aku
beranjak dari kursi besi itu dan berdiri di tepi palang. Kereta melaju semakin
cepat dan aku memutuskan untuk menjatuhkan langkah terakhirku saat itu juga.
Seketika kebisingan disekitar
lengang. Senja yang saat itu menjadi pusat perhatian tergantikan oleh decit
keras kereta api yang tiba-tiba mengerem mendadak setelah melindas tubuh
seorang pria paruh baya yang pada senja itu merasa telah kehilangan segalanya. Termasuk
pada saat itu senja menjadi saksi bisu dari peradaban manusia. Menjadi fana
pada ujung senja yang indahnya hanya sementara.